Giat DLH
Surabaya menjadi salah satu kota di Indonesia yang dinilai mampu mengelola sampah dengan baik, melalui program 3R (reduce, reuse, recycle). Tidak hanya itu, Program 3R dinilai telah menjadi landasan upaya pengelolaan sampah secara mandiri oleh masyarakat, dalam rangka mengurangi sampah dan mengambil nilai ekonomis dari sampah.
Hal ini menjadikan Surabaya salah satu contoh kota yang masyarakatnya berhasil mengelola sampah, sehingga menjadi role model negara-negara di Asia Pasifik. Melalui sejumlah keberhasilan di bidang kebersihan yang berhasil diraih, Surabaya menjadi tuan rumah Forum Regional 3R atau The 5th Regional 3R Forum in Asia & The Pacific bertema Multilayer Partnership & Coalitions as the Basic for 3R’s Promotion in Asia & The Pacific, yang digelar di Hotel Shangri-La Surabay.
Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya saat pembukaan mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup saat ini sedang intensif mendorong pemimpin kota-kota di Indonesia, untuk mau mengelola sampah di kotanya dengan cara 3R, karena sejauh ini penerapan secara keseluruhan di Indonesia baru sekitar 7%. Artinya selama ini banyak kota yang mengelola sampah dengan cara lama, yakni dengan menimbun sampah di dalam tanah.
“Untuk tingkat nasional, baru sebesar 7%. Ini kita dorong supaya bisa mengeloa sampah dengan 3 R. Tetapi untuk beberapa kota seperti Surabaya, Malang dan Jombang sudah di atas itu. Surabaya one step ahead (selangkah di depan) dan menjadi role model bagi kota-kota lain. Makanya, acara ini kita gelar di Surabaya,” kata Balthasar Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup.
Acara pembukaan The 5th Regional 3R Forum in Asia & The Pacific dihadiri 300 peserta dari 38 negara-negara di Asia Pasifik, antara lain Menteri Lingkungan Hidup Jepang, Shinji Inoue, serta Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf.
Gerakan Indonesia Peduli Sampah menuju masyarakat berbudaya 3R (reduce, reuse, recycle) untuk kesejahteraan masyarakat, dideklarasikan di Surabaya dan dihadiri 30 Walikota/ Bupati se-Indonesia, yang memiliki komitmen besar untuk mewujudkan Indonesia bersih dari sampah pada 2020 mendatang.
Deklarasi ini kata Balthasar Kambuaya merupakan hal yang sangat penting, karena menyatukan komitmen para pemimpin untuk mewujudkan Indonesia bebas dari sampah.
“Sampah di kota-kota besar baru bisa dikelola di bawah 50 persen. Selebihnya tidak diurus. Ada yang dibuang di pinggir jalan atau ada juga di sungai. Penyelesaian sampah membutuhkan leadership yang kuat. Anda harus menjadi role model untuk memimpin masyarakat,” kata Balthazar Kambuaya.
Diungkapkan oleh Balthasar Kambuaya, Kota Surabaya merupakan salah satu contoh kota yang berhasil mengelola sampah. Indikator sukses dalam hal pengelolaan sampah berupa adanya bank sampah serta rumah kompos, sehingga sampah tidak lagi menjadi barang yang tidak berguna, melainkan justru bernilai uang.
“Surabaya punya pengalaman dalam investasi sampah. Termasuk melakukan kerja sama dengan Jepang dalam hal pengolahan sampah,” ujar Balthasar Kambuaya, yang merupakan mantan Rektor Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua.
Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, Imam Santoso Ernawi mengatakan, pihaknya akan melakukan pembelajaran komunitas 3 R, terutama untuk kategori reduce atau pengurangan sampah.
“Reduce ini merupakan titik kritis. Kalau kita bisa mengurangi sampah sebanyak-banyaknya dari sumbernya, maka beban pengelolaan sampah publik juga akan berkurang,” ungkap Imam Santoso Ernawi.
Sementara itu Walikota Surabaya Tri Rismaharini mengungkapkan, diperlukan anggaran yang cukup besar untuk biaya angkut sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), yang itu dapat ditekan bila sampah dapat ditekan mulai dari sumbernya.
“Kalau dilihat dari pengelolaan sampah, sebetulnya justru yang paling besar itu adalah untuk biaya angkut. Biaya angkutan itu sampai 50 persen, karena itu kalau konsep kita, bisa menyelesaikan sampah itu di sumbernya, maka biaya angkut itu akan bisa kita potong,” tandas Risma, Walikota perempuan pertama di Surabaya.
Kunci sukses keberhasilan pengolahan sampah lanjut Risma juga terletak pada peran serta aktif masyarakat beserta seluruh elemen yang ada. Keterlibatan semua pihak dalam upaya mengurangi sampah, menjadikan program 3 R dapat berjalan dengan baik.
”Kata kuncinya adalah partisipasi dari masyarakat, artinya bukan masyarakat saja, termasuk media juga. Karena itu dampaknya kan global warming. Taruhlah kita mengelola lingkungan bagus, tapi kalau negara lain, atau tetangga kita enggak, ya sama saja. Kalau kita mengolah baik, kalau samping-sampingnya enggak ya gak ada gunanya, kuncinya bagaimana kita mendekati masyarakat, itu yang paling penting,” Risma menjabarkan kepada Mongabay-Indonesia.
Selain masyarakat, gerakan pengurangan sampah juga diterapkan di sekolah melalui program Eco School. Risma mengungkapkan, edukasi kepada anak-anak usia sekolah menjadi salah satu langkah penting menanamkan budaya 3 R di masyarakat, sehingga masyarakat semakin banyak yang sadar akan pentingnya mengurangi sampah pribadi, karena hingga kini sampah rumah tangga merupakan penyumbang terbesar sampah perkotaan.
“Di sekolah itu anak-anak bukan hanya mengenal lingkungan, tapi mereka juga mempraktekkannya, contohnya misalkan, kalau sekolah-sekolah yang sudah ikut program eco school, maka mereka selalu bawa piring dan gelas, jadi tidak ada lagi plastik makanan, sekarang mereka gak gunakan, bahkan mereka pantang menggunakan sedotan,” lanjut Tri Rismaharini yang banyak meraih penghargaan dibidang kebersihan dan lingkungan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Menurut Risma, kepedulian warga terhadap pengelolaan lingkungan berjalan selaras dengan upaya Pemerintah Kota Surabaya, untuk mewujudkan Kota Pahlawan menjadi kota yang hijau, sejuk dan asri. Hingga kini Surabaya telah memiliki luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 26 persen dari keseluruhan luas wilayah Kota Surabaya. Angka terus naik dari tahun-tahun sebelumnya yang masih sebesar 9 persen dan 12 persen.
Di dalam Undang Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang mensyaratkan RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. RTH terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Proporsi RTH publik pada wilayah kota paling sedikit 20 persen dari luas wilayah kota.
“Kita inginnya RTH bisa di atas 30 persen sehingga Surabaya bisa lebih sejuk. Selain pembuatan taman, RTH juga bisa berupa pembuatan waduk. Tahun ini sedang kita usahakan,” tutur Risma.
Pengolahan sampah mulai dari rumah tangga, tempat pembuangan sementara di kampung-kampung, hingga di tempat-tempat umum menjadi langkah yang efektif untuk mengurangi volume sampah. Tri Rismaharini mengatakan, upaya pengurangan sampah dengan model 3 R oleh masyarakat, telah dilakukan sejak dari rumah sehingga sangat membantu menekan jumlah sampah yang dibawa ke tempat pembuangan akhir sampah.
“Bisa dirasakan hampir setiap tahun, rata-rata penurunan sampah ke TPA (tempat pembuangan akhir), jadi saat saya sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan, itu 2.300 meter kubik per hari masuk ke TPA. Saat ini posisinya 1.200 meter kubik di TPA. Jadi bisa dilihat penurunan sampah yang masuk ke TPA. Itu kita gunakan rumah kompos, juga di masyarakat, kemudian juga pengolahan TPS (tempat pembuangan sementara),” sambung Risma.
Sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan, Pemerintah Kota Surabaya saat ini sedang menggalakkan kampanye penggunaan tas plastik daur ulang. Hal ini karena sampah plastik menjadi sampah yang sulit diurai, dan membutuhkan waktu hingga ratusan tahun agar terurai.
“Kita kampanye untuk tidak memakai tas plastik. Kalau belanja, pakai tas plastik daur ulang,” pungkas Risma seraya menyebut program Green and Clean, serta Merdeka dari Sampah, telah digagas Pemerintah Kota Surabaya untuk menciptakan kampung-kampung bersih dan hijau.