GIAT DLH
Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, menjabarkan seluruh kegiatan yang termasuk dalam sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang keterkaitan satu sama lainnya bersifat sekuensial. Pemahaman bahwa sistem ini merupakan siklus, menyebabkan hasil-hasil yang diperoleh dari proses perencanaan tata ruang ditempatkan sebagai acuan dari kegiatan-kegiatan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Berdasarkan hal itu, maka Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) adalah wujud formal kebijakan, rencana, dan program (KRP) acuan yang mengatur penataan ruang sebuah wilayah tertentu. Oleh karena itu, setiap proses perumusan Kebijakan, Rencana dan Program (KRP) pembangunan sampai dengan pelaksanaannya memerlukan alokasi kegiatan yang senantiasa berlandaskan kaidah kelestarian lingkungan hidup.
Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan, perhatian pada lingkungan hidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal proses penetapan strategi sampai dengan pelaksanaannya. Akhir-akhir ini kerusakan dan pencemaran lingkungan di Indonesia boleh dikatakan telah berlangsung dalam kecepatan yang melampaui kemampuan untuk mencegah dan mengendalikan degradasi lingkungan hidup. Kebijakan, Rencana dan Program (KRP) pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan yang telah diluncurkan pemerintah sejak tiga dekade lalu, tampak tak berarti atau kalah berpacu dengan kecepatan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya hal ini adalah karena pertimbangan lingkungan tidak diintegrasikan dalam proses pengambilan keputusan pada tahap formulasi kebijakan, rencana, atau program-program pembangunan. Di Indonesia, sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UU PPLH), KLHS digunakan untuk merencanakan dan mengevaluasi kebijakan, rencana dan/atau program yang akan atau sudah ditetapkan.
Dalam penyusunan kebijakan, rencana dan/atau program, KLHS digunakan untuk menyiapkan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana dan/atau program agar dampak dan/atau risiko lingkungan yang tidak diharapkan dapat diminimalkan, sedangkan dalam evaluasi kebijakan, rencana dan/atau program, KLHS digunakan untuk mengidentifikasi dan memberikan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana dan/atau program yang menimbulkan dampak dan/atau risiko negatif terhadap lingkungan. Rencana Tata Ruang Wilayah adalah wujud formal kebijakan, rencana, dan program (KRP) acuan yang mengatur penataan ruang sebuah wilayah tertentu. Dalam pelaksanaannya, perbedaan cara penanganan dan karakteristik khusus sebuah satuan wilayah membedakan jenis Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tersebut. Sebuah RTRW yang mengatur satuan wilayah yang luas memuat arahan dan acuan yang lebih strategis dan umum daripada RTRW yang mengatur satuan wilayah yang lebih kecil. Akibatnya, semakin luas wilayah yang diatur, semakin panjang dimensi kerangka waktu (time-frame) yang bisa dicakup aturan tersebut. Oleh sebab itu, hirarki RTRW yang disusun berdasarkan luasan wilayah sebenarnya juga mencerminkan hirarki operasionalitas arahan yang dimuat. Sebuah RTRW skala nasional, provinsi, kabupaten/kota sebenarnya memuat kebijakan-kebijakan, sementara RTRW skala rinci/kawasan lebih banyak memuat kumpulan program Perbedaan-perbedaan ini mempengaruhi pola pemahaman mengenai bagaimana aspek-aspek lingkungan hidup diterapkan dalam muatan RTRW yang berbeda jenjangnya.
KLHS adalah sebuah bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin efek negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan dalam KRP tata ruang. Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan. Oleh karena siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang tidak selalu gamblang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing RTRW. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan (suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas. Keberadaannya yang kontekstual menyebabkan pokok-pokok pikiran dalam Dokumen KLHS tidak bisa dipahami sebagai sebuah aturan yang baku, melainkan sebagai sebuah arahan untuk memilih alternatif-alternatif pemanfaatan yang sesuai dengan kebutuhan. Adapun bebebrapa nilai-nilai yang dianggap penting dalam aplikasi KLHS di Indonesia adalah :
Kegiatan penyusunan KLHS di Indonesia harus mengacu pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 27 Tahun 2009 Pedoman Pelaksanaan KLHS.