(0362) 3302024
dlh@bulelengkab.go.id
Dinas Lingkungan Hidup

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN UNTUK MELANJUTKAN PERJUANGAN BANK SAMPAH

Admin dlh | 15 Oktober 2019 | 2181 kali

GIAT DLH

Mengapa keberadaan bank sampah diperlukan?

Sampah merupakan salah satu hasil dari berbagai aktivitas dan kegiatan manusia (Priono, 2014). Pada tahun 2012, diketahui jumlah sampah padat yang dihasilkan oleh kota-kota yang ada di dunia sebesar 1,3 miliar ton setiap tahunnya. Sampah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 2,2 miliar pada tahun 2025. Sedangkan, di Indonesia sendiri diperkirakan sampah yang dihasilkan adalah sebesar 151.921 ton per hari (World Bank, 2012).

Jika limbah padat yang dihasilkan tersebut tidak ditangani dengan baik, maka menyebabkan masalah bagi kesehatan dan lingkungan (Misra, 2005). Beberapa cara untuk menangani timbulan sampah tersebut, yaitu dari pengurangan produksi sampah, pengunaan teknologi canggih, sampai dengan pengadaan bank sampah. Menurut Peratuan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 13 tahun 2012, bank sampah adalah tempat pemilahan dan pengumpulan sampah yang dapat di daur ulang dan/atau di guna ulang yang memiliki nilai ekonomi.

Pengadaan bank sampah bertujuan untuk menerapkan prinsip reduce, reuse, dan recycle sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan (Permen Lingkungan Hidup RI No.13 Tahun 2012). Manfaat bank sampah tidak hanya untuk kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat, tetapi juga untuk kondisi ekonomi masyarakat yang menjadi nasabah ataupun pengurus (Challcharoenwattana, 2015). Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua Pengurus Bank Sampah Sangkan Amanah (Garut, 2017), diketahui, keberadaan Bank Sampah telah memberikan pemasukan tambahan bagi warga, menumbuhkan semangat untuk memilah sampah dan suasana gotong royong di tengah-tengah masyarakat.

Berjalan lancar atau tidaknya suatu bank sampah ditentukan oleh berbagai faktor seperti availability, performance, dan quality (Kristina, 2014). Secara singkat, keefektifitasan bank sampah dilihat dari kemudahan akses bank sampah tersebut, baik untuk nasabah, pengurus, dan stakeholder. Kemudian terdapat pembagian kerja yang jelas, tidak ada penolakan dalam proses pemberdayaan, dan program yang ada berhasil terlaksana serta berdampak signifikan. Keefektifitasan suatu bank sampah dapat dilihat dari indikator kelembagaan, teknik operasional, pembiayaan, peraturan, dan peran serta masyarakat (Damayanti, 2014).

Dalam menjalankan bank sampah perlu memerhatikan faktor efektiftas dan faktor penghambat. Menurut Juliandoni (2013), terdapat 4 faktor penghambat berjalannya suatu bank sampah, yaitu partisipasi nasabah yang rendah, harga beli ‘tukang loak’ yang lebih tinggi, ketersediaan transportasi untuk mengangkut sampah yang tidak memadai, dan keterbatasan kemampuan masyarakat untuk mengolah sampah menjadi kerajinan tangan. Selain itu, terdapat faktor tambahan seperti, pendapat bahwa dengan berpartisipasi dalam bank sampah seakan-akan mengambil rezeki pemulung. Walaupun sebenarnya, menurut BLH (Badan Lingkungan Hidup) dalam penelitian Wardhani 2013, dikatakan pemulung hanya mengambil sampah yang berserakan di jalanan, TPS, dan TPA. Oleh Sebab itu, masyarakat yang melakukan pemilahan sampah di rumahnya sendiri bukan berati mengambil rezeki pemulung.

Lalu bagaimana sebaiknya?

Sangat disayangkan, jika program bank sampah harus kehilangan pamornya atau harus berhenti di tengah jalan karena hal-hal di atas. Padahal pengadaan bank sampah dapat mengurangi 11,57% biaya untuk landfill (Challcharoenwattana, 2015). Oleh karena itu untuk melanjutkan perjuangan bank sampah, perlu dilakukan usaha seperti, pelaksanaan kerjasama dengan pemerintah setempat, pengadaan kader bank sampah, pengadaan sosialisasi kepada masyarakat, penyusunan kelembagaan yang jelas, pembagian kerja yang jelas, pembentukan sistem bank sampah yang terintergrasi dan sustainable, serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi (Anisa, 2014)