(0362) 3302024
dlh@bulelengkab.go.id
Dinas Lingkungan Hidup

KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) MASYARAKAT SIBETAN DALAM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Admin dlh | 05 Maret 2024 | 2165 kali

KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) MASYARAKAT SIBETAN DALAM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN 

Oleh:

Made Witari, S.ST., M.Si

 

       Schumacher (dalam Vimukt Shiksha, 1999) menyebutkan bahwa kehidupan manusia akan terancam keberadaannya bukan karena rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan kecendrungan pemanfaatan sumber daya alam yang merusak tanpa dibarengi oleh suatu kearifan atau wisdom. Keunggulan lokal yang dimiliki oleh suatu kawasan, perlu dijaga keberlanjutannya dengan kearifan lokal masyarakatnya. Kearifan lokal merupakan suatu pengetahuan lokal/tradisional yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan didalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama (Sunaryo dan Joshi, 2003). Dalam seminar nasional  (Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan Lokal) Jumat 3 Juni 2005 di Denpasar,  Geriya (2005) menyebutkan dalam makalahnya bahwa kearifan lokal yang memiliki keunggulan mengandung nilai-nilai universal seperti nilai historis, religius, etika, estetika, sains, dan teknologi. Sebagai contoh yaitu filosofi Tri Hita Karana yang berasal dari kebudayaan Bali. 

       Seperti halnya kearifan lokal masyarakat campuan terkait dengan persepsi mereka terhadap kawasan suci di sekitar sumber (mata) air, kawasan campuan (kawasan pertemuan dua buah sungai), dan kawasan suci lainnya. Persepsi terhadap kawasan suci tersebut melahirkan sikap apresiatif dan perilaku masyarakat yang selalu berusaha menjaga dan merawat kebersihan dan kualitas air serta lingkungannya. Secara tidak langsung persepsi dan sikap dari masyarakat tersebut membuat lingkungan biotis dan abiotis disekitarnya menjadi lestari (Laksmiwati, 2004:52).

            Begitu pula masyarakat Dusun Dukuh Desa Sibetan yang menjaga keunggulan lokal kawasannya dengan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat tersebut (Witari, 2013). Mayoritas mata pencaharian masyarakat Dusun Dukuh (80%) adalah sebagai petani salak. Mengingat hal tersebut maka kelestarian alam adalah sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka. Beberapa aktivitas yang dapat mengancam keharmonisan alam seperti menembak burung, menebang pohon sembarangan, membuang sampah sembarangan, memasuki kebun orang lain tanpa ijin, mengembalakan hewan peliharaan di kebun orang lain, menjual lahan pribadi (perkebunan salak) pada orang luar Sibetan, larangan merusak pagar dan tanaman yang berada di Dusun Dukuh,  dan masih banyak lagi larangan-larangan lainnya yang telah dibuat dan disepakati oleh masyarakat untuk menjaga keharmonisan lingkungan. Larangan-larangan tersebut menjadi suatu aturan yang tidak tertulis  (perarem) desa yang harus dipatuhi oleh masyarakat Adat Dusun Dukuh. Selain itu terdapat beberapa kearifan lokal Masyarakat Dusun Dukuh berdasarkan konsep Tri Hita Karana, yaitu salah satu ajaran dan falsafah Agama Hindu yang mendasari interaksi mereka terhadap lingkungan sekitarnya khususnya pada aspek Parhyangan.

     Terdapat suatu keunikan pada setiap lahan perkebunan salak masyarakat Dusun Dukuh, yaitu di setiap perkebunan salak milik masyarakat terdapat sebuah pura kecil atau yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai Tugu Penunggun Karang. Hal itu menandakan bahwa masyarakat setempat eling terhadap keberadaan Sang Pencipta sebagai pencipta dari alam semesta ini.    Perkebunan salak bagi masyarakat Dusun Dukuh bukan saja merupakan sumber penghidupan tetapi juga sarat dengan berbagai aktivitas keagamaan untuk mengekspresikan rasa syukur dan terima kasihnya kepada Tuhan.

       Aktivitas budaya yang rutin dilakukan oleh para petani setiap pergi ke kebun adalah membawa canang dan makanan kecil atau dalam istilah lokal disebut dengan rarapan yang dihaturkan pada Tugu Penunggun Karang tersebut. Masyarakat setempat berkeyakinan bahwa Tugu Penunggun Karang pada kebun salak mereka adalah manifestasi dari “Dewa Sangkara” yaitu dewanya tumbuh-tumbuhan. Selain melakukan persembahan kepada Tuhan melalui Tugu Penunggun Karang, masyarakat juga memberikan persembahan kepada Tuhan atas keberadaan salak muani yang ada di lahan perkebunan mereka.

       Salak muani adalah salah satu jenis salak yang tidak dapat berbuah karena bunganya hanya memiliki benang sari tanpa kepala putik. Tepung sari hanya berfungsi membentuk sel kelamin jantan dan hanya bertugas menyerbuki bunga salak betina. Maka oleh sebab itu diberi nama dengan muani yang dalam Bahasa Indonesia berati laki-laki. Walaupun tidak menghasilkan buah, oleh masyarakat Dusun Dukuh, jenis salak tersebut tetap dilestarikan keberadaannya dan merupakan suatu anugerah dari Sang Pencipta apabila dalam kebun salak mereka tumbuh salak muani. Dipercaya oleh masyarakat Dusun Dukuh bahwa salak muani adalah pengempu (pengasuh) untuk jenis salak yang lainnya. Pada saat panen tiba, tanaman salak yang berada di sekitar salak muani berbuah lebih lebat dan memiliki kualitas yang baik. Perlakuan khusus yang dilakukan para petani kepada jenis salak tersebut adalah dengan menghaturkan sesajen atau rarapan setiap hari sebagai rasa syukur mereka terhadap Tuhan atas keberadaan salak muani di kebun mereka (Witari. 2013).

Keunggulan dan kearifan lokal yang dimiliki Masyarakat Bali memiliki fungsi ekologi yang secara sadar telah melindungi sistem ekologi masyarakat tersebut selama turun temurun. Konsep kearifan lokal tersebut diwujudkan dengan aktivitas yang tidak merusak alam, dan  aktivitas-aktivitas budaya setempat yang terkait erat dengan kepercayaan tradisional setempat, yang terbukti dapat memberikan nilai positif bagi kelestarian dan pelestarian lingkungan setempat.

  

DAFTAR PUSTAKA

Dalem, A.A.G.R. 2004. Merumuskan Prinsip-Prinsip Dan Kriteria Ekowisata Daerah Bali. Jurnal Pusat Studi Lingkungan Bumi Lestari.Universitas Udayana.

 

Geria, I .M. 2003. Dampak Perkembangan Permukiman Terhadap Lingkungan Pesisir Situs Gilimanuk Jembrana Bali Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Penanggulangan (Tesis). Denpasar: Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.

 

Geriya, W.1990. Pariwisata Dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional, Global .Denpasar: Upada Sastra.

 

Guntoro, S. 2004. Salak Bali. Yogyakarta : Kanisius

 

Kaewdang, Rung. 2004. Indigenous Knowledge For a Learning Society. Thailand: Available from:http://www.onec.go.th/moves/new_43//indigenous/indigenous.

 

Koentjaraningrat.2001. Pengantar Antropologi I (cetakan kedua). Jakarta:  PT.Rineka Cipta.

 

Laksmiwati, I.A.A. 2004. Mata Air Sebagai Kawasan Suci (Sebuah Kearifan Lokal dalam Pelestarian Sumber Daya Alam). Jurnal Pusat Studi Lingkungan Bumi Lestari.Universitas Udayana.

 

Laksono, dkk. 2000. Perempuan Di Hutan Mangrove, Kearifan Ekologis Masyarakat Papua. Yogyakarta : Galang Press dan Yayasan Kehati.

 

Sunaryo dan Joshi, Maret 2003, Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal Dalam Sistem  Agroforestri:World Agroforestry Centre. Available from: URL: www.worldagroforestrycentre.org.

Witari, M. 2013. Studi Kearifan Ekologi Dalam Pengelolaan Kawasan Agrowisata Salak Sibetan di Kabupaten Karangasem Bali. (Thesis). Universitas Udayana. Bali.