KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) MASYARAKAT SIBETAN DALAM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
Oleh:
Made Witari, S.ST.,
M.Si
Schumacher (dalam Vimukt Shiksha, 1999) menyebutkan
bahwa kehidupan manusia akan terancam keberadaannya bukan karena rendahnya
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan kecendrungan pemanfaatan
sumber daya alam yang merusak tanpa dibarengi oleh suatu kearifan atau wisdom. Keunggulan lokal yang dimiliki
oleh suatu kawasan, perlu dijaga keberlanjutannya dengan kearifan lokal
masyarakatnya. Kearifan lokal merupakan suatu pengetahuan lokal/tradisional
yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu
lingkungan yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan
budaya yang diekspresikan didalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka
waktu yang lama (Sunaryo dan Joshi, 2003). Dalam seminar nasional (Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan Lokal)
Jumat 3 Juni 2005 di Denpasar, Geriya
(2005) menyebutkan dalam makalahnya bahwa kearifan lokal yang memiliki
keunggulan mengandung nilai-nilai universal seperti nilai historis, religius,
etika, estetika, sains, dan teknologi. Sebagai contoh yaitu filosofi Tri Hita Karana yang berasal dari
kebudayaan Bali.
Seperti halnya kearifan lokal masyarakat campuan terkait dengan persepsi mereka terhadap
kawasan suci di sekitar sumber (mata) air, kawasan
campuan (kawasan pertemuan dua buah
sungai), dan kawasan suci lainnya. Persepsi terhadap kawasan suci tersebut
melahirkan sikap apresiatif dan perilaku masyarakat yang selalu berusaha
menjaga dan merawat kebersihan dan kualitas air serta lingkungannya. Secara
tidak langsung persepsi dan sikap dari masyarakat tersebut membuat lingkungan
biotis dan abiotis disekitarnya menjadi lestari (Laksmiwati, 2004:52).
Begitu
pula masyarakat Dusun Dukuh Desa Sibetan yang menjaga
keunggulan lokal kawasannya dengan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat
tersebut (Witari, 2013). Mayoritas
mata pencaharian masyarakat Dusun Dukuh (80%) adalah sebagai petani salak.
Mengingat hal tersebut maka kelestarian alam adalah sangat penting bagi
kelangsungan hidup mereka. Beberapa aktivitas yang dapat mengancam keharmonisan
alam seperti menembak burung, menebang pohon sembarangan, membuang sampah
sembarangan, memasuki kebun orang lain tanpa ijin, mengembalakan hewan
peliharaan di kebun orang lain, menjual lahan pribadi (perkebunan salak) pada
orang luar Sibetan, larangan merusak pagar dan tanaman yang berada di Dusun
Dukuh, dan masih banyak lagi
larangan-larangan lainnya yang telah dibuat dan disepakati oleh masyarakat
untuk menjaga keharmonisan lingkungan. Larangan-larangan tersebut menjadi suatu
aturan yang tidak tertulis (perarem) desa yang harus dipatuhi oleh
masyarakat Adat Dusun Dukuh. Selain itu terdapat beberapa kearifan lokal
Masyarakat Dusun Dukuh berdasarkan konsep Tri Hita Karana, yaitu salah satu ajaran dan falsafah Agama Hindu
yang mendasari interaksi mereka terhadap lingkungan sekitarnya khususnya pada
aspek Parhyangan.
Terdapat suatu keunikan pada setiap lahan
perkebunan salak masyarakat Dusun Dukuh, yaitu di
setiap perkebunan salak milik masyarakat terdapat sebuah pura kecil atau yang
disebut oleh masyarakat setempat sebagai Tugu Penunggun Karang. Hal itu menandakan bahwa
masyarakat setempat eling terhadap
keberadaan Sang Pencipta sebagai pencipta dari alam semesta ini. Perkebunan salak bagi masyarakat Dusun
Dukuh bukan saja merupakan sumber penghidupan tetapi juga sarat dengan berbagai
aktivitas keagamaan untuk mengekspresikan rasa syukur dan terima kasihnya
kepada Tuhan.
Aktivitas budaya yang rutin dilakukan
oleh para petani setiap pergi ke kebun adalah membawa canang dan makanan kecil
atau dalam istilah lokal disebut dengan rarapan
yang dihaturkan pada Tugu Penunggun Karang tersebut. Masyarakat setempat
berkeyakinan bahwa Tugu Penunggun Karang pada kebun salak mereka adalah
manifestasi dari “Dewa Sangkara” yaitu dewanya tumbuh-tumbuhan. Selain
melakukan persembahan kepada Tuhan melalui Tugu Penunggun Karang, masyarakat juga memberikan
persembahan kepada Tuhan atas keberadaan salak muani yang ada di lahan
perkebunan mereka.
Salak muani adalah salah satu
jenis salak yang tidak dapat berbuah karena bunganya hanya memiliki benang sari
tanpa kepala putik. Tepung sari hanya berfungsi membentuk sel kelamin jantan
dan hanya bertugas menyerbuki bunga salak betina. Maka oleh sebab itu diberi
nama dengan muani yang dalam Bahasa
Indonesia berati laki-laki. Walaupun tidak menghasilkan buah, oleh masyarakat
Dusun Dukuh, jenis salak tersebut tetap dilestarikan keberadaannya dan
merupakan suatu anugerah dari Sang Pencipta apabila dalam kebun salak mereka
tumbuh salak muani. Dipercaya oleh masyarakat Dusun Dukuh bahwa salak muani
adalah pengempu (pengasuh) untuk
jenis salak yang lainnya. Pada saat panen tiba, tanaman salak yang berada di sekitar
salak muani berbuah lebih lebat dan memiliki kualitas yang baik. Perlakuan
khusus yang dilakukan para petani kepada jenis salak tersebut adalah dengan
menghaturkan sesajen atau rarapan setiap hari sebagai rasa syukur mereka
terhadap Tuhan atas keberadaan salak muani di kebun mereka (Witari. 2013).
Keunggulan dan kearifan lokal yang dimiliki Masyarakat
Bali memiliki fungsi ekologi yang secara sadar telah melindungi sistem ekologi
masyarakat tersebut selama turun temurun. Konsep kearifan lokal tersebut diwujudkan
dengan aktivitas yang tidak merusak alam, dan
aktivitas-aktivitas budaya setempat yang terkait erat dengan kepercayaan
tradisional setempat, yang terbukti dapat memberikan nilai positif bagi
kelestarian dan pelestarian lingkungan setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Dalem,
A.A.G.R. 2004. Merumuskan Prinsip-Prinsip
Dan Kriteria Ekowisata Daerah Bali. Jurnal Pusat Studi Lingkungan Bumi Lestari.Universitas Udayana.
Geria, I
.M. 2003. Dampak Perkembangan Permukiman
Terhadap Lingkungan Pesisir Situs Gilimanuk Jembrana Bali Dan Partisipasi
Masyarakat Dalam Penanggulangan (Tesis). Denpasar: Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Geriya,
W.1990. Pariwisata Dan Dinamika
Kebudayaan Lokal, Nasional, Global .Denpasar: Upada Sastra.
Guntoro, S. 2004. Salak Bali. Yogyakarta : Kanisius
Kaewdang,
Rung. 2004. Indigenous Knowledge For a
Learning Society. Thailand: Available from:http://www.onec.go.th/moves/new_43//indigenous/indigenous.
Koentjaraningrat.2001. Pengantar Antropologi I (cetakan kedua).
Jakarta: PT.Rineka Cipta.
Laksmiwati,
I.A.A. 2004. Mata Air Sebagai Kawasan Suci
(Sebuah Kearifan Lokal dalam Pelestarian Sumber
Daya Alam). Jurnal Pusat Studi Lingkungan Bumi
Lestari.Universitas Udayana.
Laksono,
dkk. 2000. Perempuan Di Hutan Mangrove, Kearifan Ekologis Masyarakat Papua.
Yogyakarta : Galang Press dan Yayasan Kehati.
Sunaryo dan Joshi, Maret 2003, Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal Dalam Sistem Agroforestri:World Agroforestry Centre. Available from: URL: www.worldagroforestrycentre.org.
Witari, M. 2013. Studi
Kearifan Ekologi Dalam Pengelolaan Kawasan Agrowisata Salak Sibetan di
Kabupaten Karangasem Bali. (Thesis). Universitas Udayana. Bali.