“DIET” PLASTIK SEKALI
PAKAI: CERITA DARI BALI UTARA
Oleh:
Ketut Budiasa, SP
Masalah sampah
plastik menjadi bayang-bayang kelam di balik keindahan Pulau Bali. Pulau yang
dikenal dengan julukan “Pulau Dewata” ini memang menyimpan kekayaan alam dan
budaya yang memikat, namun di sisi lain juga menghadapi tantangan besar dalam
pengelolaan sampah, terutama plastik sekali pakai. Di tengah pesatnya
pertumbuhan pariwisata dan urbanisasi, volume sampah plastik terus meningkat
dan mengancam ekosistem darat maupun laut. Pada tahun 2018, Pemerintah Provinsi
Bali mengambil langkah tegas dengan menerbitkan Peraturan Gubernur Bali Nomor
97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.
Peraturan ini menjadi tonggak penting dalam gerakan Bali menuju lingkungan yang
lebih bersih dan berkelanjutan. Larangan penggunaan kantong plastik, sedotan
plastik, dan bahan plastik lainnya diberlakukan secara menyeluruh, mencakup
instansi pemerintah, pelaku usaha, tempat ibadah, hingga masyarakat umum.
Kabupaten
Buleleng, yang terletak di utara Pulau Bali, turut bergerak dalam semangat yang
sama. Di bawah koordinasi Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Buleleng, berbagai
upaya dilakukan untuk mendukung implementasi Pergub tersebut. Wilayah yang
memiliki garis pantai panjang dan banyak desa wisata ini menjadi salah satu
medan penting dalam perjuangan “diet” plastik sekali pakai. DLH Kab. Buleleng
tidak hanya mengandalkan pendekatan regulatif, tetapi juga aktif menyentuh
masyarakat melalui edukasi dan partisipasi. Sosialisasi dilakukan dari desa ke
desa, dari sekolah hingga pasar, sampai pada kegiatan hiburan masyarakat.
Anak-anak sekolah hingga para pekerja kantoran diperkenalkan dengan pentingnya
membawa botol minum sendiri, sementara ibu-ibu pasar diajak untuk beralih ke
tas belanja kain. Bahkan dalam acara rapat, yang dulunya kerap menggunakan
kantong plastik pada konsumsinya, kini mulai digantikan dengan daun atau bahan
ramah lingkungan lainnya. Banyak dari swalayam ataupun toko-toko lainnya kini
telah berhenti menyediakan kantong plastik dan beralih ke kemasan ramah
lingkungan. Hal-hal ini merupakan sebuah langkah kecil yang bermakna besar.
Hasil dari upaya ini mulai terasa. Masyarakat di Buleleng kini semakin terbiasa membawa tas belanja sendiri saat berbelanja, membawa tumblr saat bepergian, dan menolak sedotan plastik saat makan di luar. Kesadaran yang dahulu dianggap sulit tumbuh, kini perlahan menjadi kebiasaan baru. Budaya lama yang bersifat konsumtif mulai bergeser ke arah yang lebih sadar lingkungan. Meski begitu, tantangan belum sepenuhnya hilang. Masih ada sebagian masyarakat yang memerlukan waktu untuk beradaptasi. Ketersediaan dan harga produk ramah lingkungan kadang menjadi kendala, terutama di wilayah pedesaan. Namun DLH Kab. Buleleng terus berkomitmen untuk mendampingi dan mendorong perubahan ini, dengan harapan bahwa setiap langkah kecil yang diambil hari ini, akan memberikan dampak besar bagi generasi mendatang.
Bali, dan khususnya Buleleng, sedang menulis bab baru dalam sejarah pengelolaan lingkungannya. Sebuah bab di mana plastik tidak lagi menjadi bagian dari keseharian, dan di mana manusia hidup selaras dengan alam. Gerakan “diet” plastik sekali pakai bukan sekadar kampanye, tetapi sebuah gerakan budaya baru yang tumbuh dari kesadaran, kepedulian, dan harapan.