(0362) 3302024
dlh@bulelengkab.go.id
Dinas Lingkungan Hidup

SUDAHKAH PENGELOLAAN SAMPAH BERJALAN OPTIMAL?

Admin dlh | 09 Januari 2023 | 596 kali

SUDAHKAH PENGELOLAAN SAMPAH BERJALAN OPTIMAL?

(Bagian Kedua)

Oleh:

Putu Agus Suma Astawa, SE

 

Masalah sampah ini menjadi salah satu masalah klasik di perkotaan dan masyarakat modern saat ini yang dihadapi di negara-negara berkembangan, seperti Indonesia. Sampah adalah sejumlah barang terbuang dan tidak terpakai lagi dan hanya mencemari lingkungan yang dapat menyebabkan kesehatan manusia menurun. Selain itu dampak keberadaan sampah yang tidak dikelola dengan baik adalah adanya kerusakan lingkungan hidup di sekitar. Masalah sampah merupakan masalah yang serius (sulit dipecahkan) dan dapat diartikan sebagai masalah budaya atau adat karena mempengaruhi banyak aspek kehidupan, terutama di kota-kota besar. Jika sampah tidak dikelola dengan baik, dapat berdampak pada pencemaran air, udara, tanah dan menimbulkan penyakit (Panji, 2013). Tempat sampah adalah barang yang dianggap tidak terpakai dan dibuang oleh pemilik atau pengguna sebelumnya, tetapi beberapa orang dapat menggunakannya meskipun telah diproses dengan benar. Akumulasi sampah disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain timbulan sampah dalam jumlah besar yang melebihi kapasitas tempat pembuangan akhir (TPA). Pengelolaan sampah yang dilakukan selama ini belum berdampak positif bagi lingkungan dan kurang mendapat dukungan politik dari pemerintah.

Menurut Azwar, sampah adalah sesuatu yang sudah tidak terpakai lagi,  sesuatu yang tidak disukai, dan sesuatu yang perlu dibuang. Tentunya sampah harus dikelola dengan baik agar tidak berdampak buruk bagi kehidupan kita (Azwar, 1990). Kodoatie mendefinisikan sampah sebagai sampah padat atau setengah padat, atau sampah yang merupakan produk sampingan dari kegiatan perkotaan atau daur hidup manusia, hewan dan tumbuhan (Kodoatie, 2003). Mengingat jenis sampah baik organik maupun anorganik dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, jumlah sampah terus bertambah secara alami. Upaya Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melaksanaan kegiatan pengurangan sampah dari sumbernya melalui program 3R yaitu Reduce, Reuse, dan Recycle dengan mendirikan TPS3R/TPST dan atau Rumah Kompos di setiap desa, dimana diharapkan dengan berdirinya TPS3R/TPST dan atau Rumah Kompos maka sampah yang masuk ke TPA memang benar-benar sampah residu/sampah yang tidak ada nilainya.

Edukasi sosialisasi kepada seluruh masyarakat melalui pemilahan sampah dari sumber, sumber yang dimaksud itu adalah dari rumah tangga, tentunya dengan cara pengelompokan seperti tadi yang mana sampah organik dan mana sampah anorganik dan diatur jadwalnya tentang pembuangan ke TPS3R/TPST dan atau Rumah Kompos sehingga volume sampah yang masuk semakin berkurang melalui pengaturan seperti itu.” Dampak dari tidak dipilihnya sampah dengan baik akan menyebabkan Sampah dapat menjadi sumber penyakit, lingkungan menjadi kotor. Hal ini akan menjadi tempat yang subur bagi mikroorganisme patogen yang berbahaya bagi kesehatan manusia, dan juga menjadi tempat sarang lalat, tikus dan hewan liar lainnya, Pembakaran sampah dapat berakibat terjadinya pencemaran udara yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat, dan memicu terjadinya pemanasan global, Pembusukan sampah apat menimbulkan bau yang tidak sedap dan berbahaya bagi kesehatan. Cairan yang dikeluarkan dapat meresap ke tanah, dan dapat menimbulkan pencemaran sumur, air tanah, dan yang dibuang ke badan air akan mencemari sungai, Pembuangan sampah ke sungai atau badan air dapat menimbulkan pendangkalan sungai, sehingga dapat memicu terjadinya banjir.”

Dalam mengoptimalkan pengelolaan sampah yang mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, bahwa sampah yang ditimbun di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) harus ditangani dengan menerapkan Sistem Sanitary Landfill atau minimal dengan Sistem Control Landfill untuk menghindari terjadinya pencemaran terhadap air, tanah dan udara dan sampah mempunyai manfaat. Sistem Sanitary Landfill merupakan metode yang melakukan penimbunan sampah. Sebelum menimbun sampah, metode ini menyiapkan tanah lempung sebagai lapisan agar air sampah atau yang dikenal dengan air lindi tidak terserap secara langsung ke dalam tanah sehingga tidak menimbulkan polusi tanah. Permukaan dasar dari metode sanitary landfill juga dilengkapi dengan pipa air lindi dan pipa gas metana yang berfungsi untuk mengumpulkan air lindi dan gas metana yang dihasilkan dari sampah yang ditimbun. Metode ini dinilai paling efektif untuk digunakan di tempat pembuangan sampah.

Sistem Control Landfill yaitu sampah ditimbun dengan luasan tertentu kemudian ditata, diratakan dan dipadatkan dengan ketebalan tertentu menggunakan alat berat Bulldozer maupun Excavator, selanjutnya diurug dengan tanah urug menggunakan prasarana Dump Truck dengan ketebalan 25 cm terus kembali ditata, diratakan, dipadatkan dengan alat berat setelah itu diatasnya ditimbun kembali dengan sampah ditata, diratakan, dipadatkan dengan alat berat dan seterusnya. Kegiatan tersebut dilakukan silih berganti, sampah dengan lapisan tanah urug sampai ketinggian tertentu untuk mengoptimalkan dan mengepektifkan penggunaan lahan yang ada sehingga sampah yang masuk setiap hari ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dapat tertampung dan terkelola dengan benar sesuai petunjuk teknis yang diamanatkan dalam ketentuan perundang-undangan pengelolaan persampahan, disamping juga untuk pemperpanjang usia Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).

Efektivitas implementasi pengelolaan sampah berbasis sumber belum bisa dilaksanakan secara maksimal karena faktor pertumbuhan penduduk yang meningkatkan jumlah sampah setiap tahunnya. Jumlah pekerja lapangan tidak sebanding dengan luas pengangkutan sampah. Sarana dan prasarana belum memadai, serta kurangnya anggaran di desa Teknis pengoperasian pengangkutan sampah menjadi kendala yang umum dihadapi oleh desa, sehingga banyak TPS3R/TPST dan atau Rumah Kompos tidak berjalan secara optimal yang pada akhirnya berimbas pada kegiatan pelaksanaan program pengelolaan sampah berbasis sumber melalui 3R tidak terlaksana. Dalam mengelola sampah masyarakat sebagian besar masih bertumpu pada pendekatan akhir (end-of-pipe), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut dan dibuang ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah, hal ini menyebabkan kondisi di TPA semakin memprihatinkan. Dari uji petik yang pernah dilakukan pada tahun 2021 di TPA Bengkala didapatkan hasil, Komposisi Sampah dilihat dari sisa makanan mencapai 4% atau 19,003 ton. Untuk sampah Kayu, ranting dan  daun mencapai 68,41% atau 325,006 ton. Untuk sampah kertas mencapai 6,69% atau 31,783 ton. Untuk sampah plastic mencapai 14,69% atau 69,790 ton. Untuk sampah logam mencapai 0,23% atau 1,093 ton. Untuk sampah Kain dan tekstil mencapai 1,79% atau 8,504 ton. Untuk sampah karet dan kulit mencapai 0,52% atau 2,470 ton. Untuk sampah kaca mencapai 0,77% atau 3,658 ton dan untuk sampah lainnya mencapai 2,90% atau 13,777 ton. Sangat jelas terlihat sampah organik yang seharusnya bisa dikelola secara maksimal dari sumbernya malah menjadi penyumbang terbanyak timbunan sampah di  TPA. Jadi apakah implementasi dari pengelolaan berbasis sumber sudah berjalan optimal?