SUDAHKAH
PENGELOLAAN SAMPAH BERJALAN OPTIMAL?
(Bagian Kedua)
Oleh:
Putu Agus
Suma Astawa, SE
Masalah
sampah ini menjadi salah satu masalah klasik di perkotaan dan masyarakat modern
saat ini yang dihadapi di negara-negara berkembangan, seperti Indonesia. Sampah
adalah sejumlah barang terbuang dan tidak terpakai lagi dan hanya mencemari
lingkungan yang dapat menyebabkan kesehatan manusia menurun. Selain itu dampak
keberadaan sampah yang tidak dikelola dengan baik adalah adanya kerusakan lingkungan
hidup di sekitar. Masalah sampah merupakan masalah yang serius
(sulit dipecahkan) dan dapat diartikan sebagai masalah budaya atau adat karena mempengaruhi
banyak aspek kehidupan, terutama di kota-kota besar. Jika sampah tidak dikelola
dengan baik, dapat berdampak pada pencemaran air, udara, tanah dan menimbulkan penyakit
(Panji, 2013). Tempat sampah adalah barang yang dianggap tidak terpakai dan dibuang
oleh pemilik atau pengguna sebelumnya, tetapi beberapa orang dapat menggunakannya
meskipun telah diproses dengan benar. Akumulasi sampah disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain timbulan sampah dalam jumlah besar yang melebihi kapasitas
tempat pembuangan akhir (TPA). Pengelolaan sampah yang dilakukan selama ini belum
berdampak positif bagi lingkungan dan kurang mendapat dukungan politik dari pemerintah.
Menurut Azwar, sampah
adalah sesuatu yang sudah tidak terpakai lagi,
sesuatu yang tidak disukai, dan sesuatu yang perlu dibuang. Tentunya sampah
harus dikelola dengan baik agar tidak berdampak buruk bagi kehidupan kita
(Azwar, 1990). Kodoatie mendefinisikan sampah sebagai sampah padat atau
setengah padat, atau sampah yang merupakan produk sampingan dari kegiatan
perkotaan atau daur hidup manusia, hewan dan tumbuhan (Kodoatie, 2003). Mengingat
jenis sampah baik organik maupun anorganik dalam kehidupan sehari-hari masyarakat,
jumlah sampah terus bertambah secara alami. Upaya Pemerintah Pusat dan Daerah
untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melaksanaan kegiatan pengurangan
sampah dari sumbernya melalui program 3R yaitu Reduce, Reuse, dan Recycle dengan mendirikan TPS3R/TPST dan
atau Rumah Kompos di setiap desa, dimana diharapkan dengan berdirinya
TPS3R/TPST dan atau Rumah Kompos maka sampah yang masuk ke TPA memang
benar-benar sampah residu/sampah yang tidak ada nilainya.
Edukasi sosialisasi
kepada seluruh masyarakat melalui pemilahan sampah dari sumber, sumber yang
dimaksud itu adalah dari rumah tangga, tentunya dengan cara pengelompokan
seperti tadi yang mana sampah organik dan mana sampah anorganik dan diatur
jadwalnya tentang pembuangan ke TPS3R/TPST dan atau Rumah Kompos sehingga
volume sampah yang masuk semakin berkurang melalui pengaturan seperti itu.” Dampak dari tidak dipilihnya sampah dengan baik akan
menyebabkan Sampah dapat menjadi sumber penyakit, lingkungan menjadi kotor. Hal
ini akan menjadi tempat yang subur bagi mikroorganisme patogen yang berbahaya
bagi kesehatan manusia, dan juga menjadi tempat sarang lalat, tikus dan hewan
liar lainnya, Pembakaran sampah dapat berakibat terjadinya pencemaran udara
yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat, dan memicu terjadinya pemanasan global,
Pembusukan sampah apat menimbulkan bau yang tidak sedap dan berbahaya bagi kesehatan.
Cairan yang dikeluarkan dapat meresap ke tanah, dan dapat menimbulkan pencemaran
sumur, air tanah, dan yang dibuang ke badan air akan mencemari sungai, Pembuangan
sampah ke sungai atau badan air dapat menimbulkan pendangkalan sungai, sehingga
dapat memicu terjadinya banjir.”
Dalam mengoptimalkan pengelolaan sampah yang mengacu
pada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, bahwa sampah
yang ditimbun di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) harus ditangani dengan
menerapkan Sistem Sanitary Landfill
atau minimal dengan Sistem Control
Landfill untuk menghindari terjadinya pencemaran terhadap air, tanah dan
udara dan sampah mempunyai manfaat.
Sistem
Sanitary Landfill merupakan metode yang melakukan
penimbunan sampah. Sebelum menimbun sampah, metode ini menyiapkan tanah lempung
sebagai lapisan agar air sampah atau yang dikenal dengan air lindi tidak
terserap secara langsung ke dalam tanah sehingga tidak menimbulkan polusi
tanah. Permukaan dasar dari metode sanitary landfill juga
dilengkapi dengan pipa air lindi dan pipa gas metana yang berfungsi untuk
mengumpulkan air lindi dan gas metana yang dihasilkan dari sampah yang
ditimbun. Metode ini dinilai paling efektif untuk digunakan di tempat
pembuangan sampah.
Sistem Control
Landfill yaitu sampah ditimbun dengan luasan tertentu kemudian ditata,
diratakan dan dipadatkan dengan ketebalan tertentu menggunakan alat berat Bulldozer maupun Excavator, selanjutnya diurug
dengan tanah urug menggunakan prasarana Dump Truck dengan ketebalan 25 cm terus
kembali ditata, diratakan, dipadatkan dengan alat berat setelah itu diatasnya
ditimbun kembali dengan sampah ditata, diratakan, dipadatkan dengan alat berat
dan seterusnya. Kegiatan tersebut dilakukan silih berganti, sampah dengan
lapisan tanah urug sampai ketinggian tertentu untuk mengoptimalkan dan
mengepektifkan penggunaan lahan yang ada sehingga sampah yang masuk setiap hari
ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dapat tertampung dan terkelola dengan benar
sesuai petunjuk teknis yang diamanatkan dalam ketentuan perundang-undangan
pengelolaan persampahan, disamping juga untuk pemperpanjang usia Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA).
Efektivitas implementasi pengelolaan
sampah berbasis sumber belum bisa dilaksanakan secara maksimal karena faktor
pertumbuhan penduduk yang meningkatkan jumlah sampah setiap tahunnya. Jumlah
pekerja lapangan tidak sebanding dengan luas pengangkutan sampah. Sarana dan
prasarana belum memadai, serta kurangnya anggaran di desa Teknis pengoperasian
pengangkutan sampah menjadi kendala yang umum dihadapi oleh desa, sehingga
banyak TPS3R/TPST dan atau Rumah Kompos tidak berjalan
secara optimal yang pada akhirnya berimbas pada kegiatan pelaksanaan program
pengelolaan sampah berbasis sumber melalui 3R tidak terlaksana. Dalam mengelola sampah masyarakat sebagian besar masih bertumpu pada
pendekatan akhir (end-of-pipe), yaitu
sampah dikumpulkan, diangkut dan dibuang ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA)
sampah, hal ini menyebabkan kondisi di TPA semakin memprihatinkan. Dari uji
petik yang pernah dilakukan pada tahun 2021 di TPA Bengkala didapatkan hasil, Komposisi Sampah dilihat dari sisa makanan mencapai 4%
atau 19,003 ton. Untuk sampah Kayu, ranting
dan daun mencapai 68,41% atau 325,006
ton. Untuk sampah kertas mencapai 6,69% atau 31,783 ton. Untuk sampah plastic
mencapai 14,69% atau 69,790 ton. Untuk sampah logam mencapai 0,23% atau 1,093
ton. Untuk sampah Kain dan tekstil mencapai 1,79% atau 8,504 ton. Untuk sampah
karet dan kulit mencapai 0,52% atau 2,470 ton. Untuk sampah kaca mencapai 0,77%
atau 3,658 ton dan untuk sampah lainnya mencapai 2,90% atau 13,777 ton. Sangat
jelas terlihat sampah organik yang seharusnya bisa dikelola secara maksimal
dari sumbernya malah menjadi penyumbang terbanyak timbunan sampah di TPA. Jadi apakah implementasi dari
pengelolaan berbasis sumber sudah berjalan optimal?