MENGELOLA SAMPAH UPAKARA YADNYA SEBAGAI IMPLEMENTASI TRI HITA KARANA
Oleh:
Ketut Budiasa, SP
Di Bali, pulau yang dikenal sebagai Pulau Seribu Pura, sampah dari
kegiatan upacara adat atau yadnya memiliki dua dampak yang signifikan: berkah
dan masalah. Meskipun sampah upakara sering kali dianggap sebagai berkah karena
menandakan intensitas praktik spiritual masyarakat, ada risiko sampah tersebut
menjadi masalah serius bagi lingkungan jika tidak dikelola dengan benar. Sampah
upakara dapat menjadi simbol kesadaran keagamaan yang tinggi. Semakin banyak
sarana yang digunakan dalam upacara, semakin besar pula refleksi masyarakat
terhadap nilai-nilai spiritual mereka. Namun, jika kesadaran keagamaan ini
tidak diimbangi dengan kepedulian terhadap lingkungan, sampah upakara dapat
berdampak negatif. Limbah yang tidak dikelola dengan baik berisiko melanggar
prinsip-prinsip Tri Hita Karana dan menyebabkan pencemaran, baik di lingkungan
rumah tangga maupun di tempat umum seperti pura.
Untuk mengatasi masalah sampah upakara, terdapat beberapa langkah yang
bisa dijadikan pedoman dalam mengurangi limbah upakara yang dibawa ke TPA.
Berikut adalah empat prinsip utama yang harus ditekankan:
1. Kesadaran
Lingkungan (Sundaram)
Mengacu pada konsep Tri Kaya Parisudha (berpikir,
berkata, dan berbuat baik), masyarakat diharapkan menjadi teladan dalam menjaga
kebersihan lingkungan. Sampah upakara biasanya dihasilkan di berbagai tempat
upacara, termasuk halaman rumah, pura, jalan raya, sungai, dan pantai. Dengan
kesadaran dan pengelolaan yang baik, sampah upakara tidak perlu menjadi beban
bagi lingkungan.
2. Memuliakan
Ibu Pertiwi
Salah satu bentuk pemujaan paling sederhana adalah
dengan menjaga kebersihan alam. Hal ini bisa dilakukan melalui tindakan sederhana
seperti mengurangi penggunaan plastik, mendaur ulang, dan membuang sampah di
tempat yang sesuai. Dengan menjaga lingkungan, kita menghormati alam sebagai
sumber kehidupan dan memastikan kelestariannya bagi generasi mendatang.
3. Mengurangi
Penggunaan Sarana Upakara Anorganik
Mengurangi penggunaan bahan anorganik dalam sarana
upacara membantu meringankan beban lingkungan. Misalnya, bahan-bahan yang ramah
lingkungan seperti daun, bambu, dan material organik lainnya lebih mudah
terurai dan didaur ulang. Penggunaan bahan alami ini tidak hanya mendukung
keberlanjutan lingkungan tetapi juga menghormati Ibu Pertiwi sebagai simbol
kelestarian alam.
4. Menggunakan
Kembali Sisa Upakara
Menggunakan kembali sisa upakara yang masih layak
merupakan langkah penting untuk mengurangi sampah. Misalnya, sarana upakara
seperti "sanggah cucuk" atau "sampian" yang belum rusak
dapat digunakan kembali setelah melalui proses pembersihan. Dengan menerapkan
konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle), masyarakat dapat mengurangi volume
sampah dan menjaga keberlanjutan lingkungan.
Untuk mewujudkan pengelolaan sampah upakara yang lebih baik, beberapa
langkah konkret dan kerja sama berkelanjutan dapat diterapkan, antara lain:
1.
Penerapan
Teknologi Pengolahan Sampah Upakara
Seiring perkembangan teknologi, peluang untuk mengolah
sampah upakara dengan teknologi sederhana semakin terbuka. Misalnya, sisa
upakara organik dapat diolah menjadi kompos yang berguna bagi pertanian atau
lingkungan sekitar pura. Pengelolaan sampah yang efektif ini bisa dilakukan di
pura besar atau pusat lingkungan, dengan harapan hasil pengelolaan sampah dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat.
2.
Peningkatan
Pengawasan dan Pemantauan Pasca-Upacara
Setelah upacara besar yang dilakukan di tempat umum,
seperti pantai atau sungai, pemantauan kondisi lingkungan perlu dilakukan untuk
memastikan tidak ada sampah yang tersisa. Relawan atau tim kebersihan yang
bekerja sama dengan pengurus pura dan desa adat dapat membersihkan area
tersebut. Langkah ini membantu menjaga kebersihan dan mencegah dampak
lingkungan yang lebih parah.
3.
Kolaborasi
dengan Pemerintah dan LSM Lingkungan
Masyarakat Hindu di Bali dapat bekerja sama dengan
pemerintah daerah atau LSM lingkungan untuk mendukung pengelolaan sampah yang
berkelanjutan. Kolaborasi ini dapat mencakup penyediaan fasilitas tempat sampah
terpilah di area upacara, pelatihan daur ulang sampah, dan penyediaan bantuan
teknis untuk mengelola limbah upakara secara lebih luas. Dengan dukungan ini,
pengelolaan sampah upakara diharapkan lebih efektif dan berkesinambungan.
Upaya menjaga lingkungan dengan mengelola sampah upakara tidak hanya
berdampak pada kebersihan alam, tetapi juga memperkuat nilai spiritual upacara
itu sendiri. Dengan memuliakan Ibu Pertiwi dan menjaga Tri Hita Karana,
masyarakat Hindu di Bali tidak hanya merayakan keyakinan mereka, tetapi juga
menunjukkan kepedulian mereka terhadap alam sebagai sumber kehidupan yang harus
dijaga dan dilestarikan. Implementasi dari langkah-langkah ini akan membantu
mengurangi dampak lingkungan dari kegiatan yadnya dan mengubah sampah upakara
dari masalah menjadi berkah bagi semua.
Sumber gambar: https://www.balipost.com/news/2024/02/29/389804/Tumpukan-Sampah-Hari-Raya-Galungan...html#google_vignette