(0362) 3302024
dlh@bulelengkab.go.id
Dinas Lingkungan Hidup

SAMPAH MASALAH DARURAT

Admin dlh | 03 Juli 2019 | 1894 kali

Giat DLH

Sampah adalah masalah darurat bagi Indonesia, yang tidak saja memiliki masalah pengelolaan sampah dalam negeri, tapi juga menjadi tempat “pembuangan” bagi sampah negara-negara maju. Impor sampah plastik ke Indonesia yang semula bertujuan sebagai bahan baku industri terbukti menimbulkan masalah baru, yang menambah timbunan kotoran tak terpakai. Untuk itu, Indonesia telah berupaya mengambil tindakan yang lebih nyata, salah satunya mulai mengirim balik sampah negara maju ke negeri asalnya. Impor sampah yang berlimpah ke Indonesia baru-baru ini telah menjadi sorotan mengkhawatirkan. Meski penanganan limbah dalam negeri masih belum bisa dilakukan dengan baik, impor sampah dari luar negeri terus berdatangan. Tak hanya menjadikan Indonesia sebagai tempat sampah bagi negara asing, Indonesia juga terpapar risiko melalui limbah plastik ilegal hingga dampak yang ditimbulkan dari timbunan sampah terhadap masyarakat. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah Ecoton Prigi Arisandi mengatakan bahwa masuknya sampah dengan merk dan lokasi jual dari luar Indonesia diduga disebabkan oleh kebijakan China tahun 2018 untuk menghentikan impor sampah plastik dari sejumlah negara di Eropa dan Amerika. Akibatnya, sampah plastik pun beralih tujuan ke negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia.

Selain China, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) merilis bahwa sejumlah negara ASEAN telah merespon perubahan perdagangan sampah plastik global dengan pembatasan impor. Bulan Juli 2018, pemerintah Malaysia mencabut izin impor 114 perusahaan dan menargetkan pelarangan impor tahun 2021. Thailand juga menargetkan pelarangan impor sampah plastik akibat kenaikan drastis impor sampah plastik mereka dari Amerika sebesar 2.000 persen atau 91.505 ton tahun 2018. Vietnam juga sudah tidak lagi mengeluarkan izin baru untuk impor sampah dan reja plastik, kertas, serta logam.

Negara tetangga terdekat Indonesia juga telah melakukan langkah serupa untuk menangkis masuhnya sampah ke negara mereka. Menteri Energi, Teknologi, Ilmiah, Lingkungan dan Perubahan Iklim Malaysia Yeo Bee Yin menyatakan bahwa 60 kontainer berisi sampah yang diimpor secara ilegal, akan dikirimkan kembali kepada 14 negara pengirim, termasuk Amerika Serikat, Jepang, Prancis, Kanada, Australia, dan Inggris. Sebelumnya, Presiden Filipina Rodrigo Duterte memerintahkan pengiriman 69 kontainer berisi sampah kembali ke Kanada. Jika Kanada menolak, Duterte memerintahkan agar kontainer-kontainer itu ditinggalkan di perairan Kanada.

Sementara itu, di Indonesia telah terjadi peningkatan impor sampah dari 10,000 ton per bulan pada akhir 2017 menjadi 35,000 ton per bulan tahun 2018. Sementara itu, peningkatan impor sampah plastik dari 124.433 ton tahun 2013 menjadi 283.152 ton tahun 2018. Diperkirakan ada lebih dari 300 kontainer yang sebagian besar mengangkut sampah plastik ke Jawa Timur setiap harinya. Indonesia bersama negara-negara Asia Tenggara lainnya telah menampung 3 persen limbah plastik global yang kebanyakan berasal dari Amerika Serikat.

Menurut data Greenpeace yang dikutip Mongabay, eksportir sampah terbanyak ke Indonesia adalah Inggris dengan sekitar 67,807 ton pada Januari-November 2018, diikuti 59,668 ton dari Jerman, 42,130 ton dari Australia, kemudian berturut-turut Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Belgia, Prancis, Spanyol, dan Hongkong di peringkat berikutnya.

Menurut Prigi Arisandi, dikutip dari VOA Indonesia, sejak November 2018 telah ditemukan gejala-gejala peningkatan impor sampah plastik di Indonesia. Dalam impor bahan baku kertas salah satu perusahaan kertas ditemukan di dalamnya bercampur dengan 60 persen sampah plastik. Berdasarkan kajian atas merk sampah plastik yang masuk, diketahui bahwa lebih dari 50 merk berasal dari lebih 20 negara di Eropa, Amerika, Australia, dan Asia.

Larangan masuknya sampah ke wilayah Indonesia sebenarnya telah diatur di Bab X Larangan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang melarang pencampuran sampah dengan limbah berbahaya dan beracun maupun mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran serta perusakan lingkungan. Larangan serupa tentang masuknya limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) ke Indonesia juga disebutkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Basel melalui Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1993. Konvensi Basel mengatur perpindahan lintas batas limbah secara internasional, yang menetapkan pengetatan atas pembuangan limbah beracun berikut turunannya terhadap dampak lingkungan hidup efektif. Tanggal 10 Mei 2019, 187 negara telah mengambil langkah besar untuk mengendalikan krisis perdagangan plastik dengan menyertakan plastik ke dalam Konvensi Basel. Perjanjian tersebut berupaya mengontrol pergerakan sampah dan limbah berbahaya beracun antar negara, terutama dari negara maju ke negara berkembang.

Prigi menjelaskan bahwa impor sampah pada akhirnya menimbulkan dampak berbahaya karena residu yang dihasilkan dari proses pengolahan limbah. Pasalnya, tidak semua limbah yang dimpor sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-DAG/PER/5/2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun. Impor limbah plastik berupa scrap diperbolehkan, tapi tidak boleh menyisakan residu atau tercampur dengan bahan yang tidak bisa didaur ulang.

Dari Mongabay, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dilaporkan mengajukan izin rekomendasi impor sampah kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya tertanggal 1 November 2018. Airlangga dalam surat izinnya menyebutkan kebutuhan bahan baku plastik nasional sebanyak 5,6 juta ton, bahan baku plastik virgin bisa terpenuhi 2,3 juta ton, dan impor 1,6 juta ton. Artinya, masih diperlukan sisa seperti scrap maupun reja plastik impor sebagai bahan baku industri plastik.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengaku memahami bahwa industri sangat perlu bahan baku dalam jumlah banyak, namun itu harus memperhatikan masalah lingkungan. Impor scrap plastik bisa dibuka asal tak menimbulkan masalah baru dan jadi sampah di negeri ini. Menteri Siti menegaskan bahwa impor limbah plastik harus dipastikan tidak menambah timbunan sampah. Impor yang masuk sepatutnya bukan limbah yang tidak bisa didaur ulang, agar tetap sejalan dengan upaya pengurangan dan pengelolaan sampah plastik yang kini terus digencarkan.

Kelompok lingkungan Bali Fokus mengklaim bahwa peraturan Kementerian Perdagangan tahun 2016 tentang impor limbah tidak berbahaya dan beracun memungkinkan pihak-pihak tertentu untuk menyelundupkan sampah “yang tidak dibutuhkan” ke Indonesia. Peraturan tersebut memungkinkan impor, di antara sejumlah bahan, seperti plastik, logam, dan kertas untuk mendukung industri lokal, tetapi mengharuskan importir plastik untuk mendapatkan persetujuan hanya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia.

Peraturan tersebut mengklasifikasikan plastik sebagai limbah Kategori B yang harus melalui inspeksi oleh pengawas independen sebelum diimpor dan oleh petugas bea cukai setelah tiba di pelabuhan Indonesia. Menurut pendiri Bali Fokus Yuyun Ismawati, importir limbah logam dan kertas tidak diharuskan untuk memperoleh dokumen hasil inspeksi seperti itu.

Yuyun menambahkan bahwa kebijakan itu bermasalah karena besi tua dan kertas bekas termasuk dalam Kategori A, yang tidak memerlukan inspeksi sebelum dan selama impor. Celah itu pada akhirnya dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan untuk mengimpor limbah plastik berbahaya. Para eksportir dilaporkan memasukkan sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang ke dalam paket impor yang dikirimkan.

Penyebab lain dari lolosnya limbah plastik ke Indonesia ialah ketidaktegasan pengaturan dalam Permendag mengenai klasifikasi HS code (kode perdagangan komoditas) yang mencantumkan kata “dan lain lain.” Itu tampaknya menjadi celah bagi impor limbah plastik sehingga dapat bercampur dengan bahan yang sulit didaur ulang.

Kepada Media Indonesia, Menteri LHK Siti Nurbaya menuturkan bahwa pihaknya akan mengusulkan revisi pos tariff atau HS code impor limbah non-B3 scrap plastik agar tidak memiliki unsur “dan lain-lain” untuk menghindari pencampuran sampah tersebut.

Aktivis lingkungan dari Komunitas Nol Sampah Hanny Ismail mengatakan bahwa impor sampah sebenarnya dapat mengakomodasi kebutuhan rakyat Indonesia. masyarakat bersedia menampung sampah plastik di komunitas mereka karena adanya keuntungan ekonomi dari memilah dan menjual kembali sampah plastik itu, misalnya sebagai bahan membuat biji plastik maupun bahan bakar produksi pabrik tahu dan krupuk di Jawa Timur.

Para pemulung sampah di Jatim mampu meraup upah 500 ribu rupiah per minggu hingga menyekolahkan anak-anak mereka dari proses pemilahan limbah tersebut. Sayangnya, impor dan pengolahan limbah plastik tidak serta-merta memberikan keuntungan tanpa dampak yang jauh lebih mengerikan.

*Sumber : Matamata Politik