Giat DLH
Kinerja Pegawai
Kinerja pegawai merupakan suatu hasil yang dicapai oleh pegawai tersebut dalam pekerjaanya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan tertentu. Menurut Robbins (2003) bahwa kinerja pegawai adalah sebagai fungsi dari interaksi antara kemampuan dan motivasi. Dalam studi manajemen kinerja pekerja atau pegawai ada hal yang memerlukan pertimbangan yang penting sebab kinerja individual seorang pegawai dalam organisasi merupakan bagian dari kinerja organisasi, dan dapat menentukan kinerja dari organisasi tersebut. Berhasil tidaknya kinerja pegawai yang telah dicapai organisasi tersebut akan dipengaruhi oleh tingkat kinerja dari pegawai secara individu maupun kelompok. Kinerja (ferformance) merupakan perilaku organisasional yang secara langsung berhubungan dengan produksi barang atau penyampaian jasa. Kinerja seringkali difikirkan sebagai pencapaian tugas, dimana istilah tugas sendiri berasal dari pemikiran aktivitas yang dibutuhkan oleh pekerja (Gibson, 1997). Yukl (1998) memakai istilah proficiency yang mengandung arti yang lebih luas. Kinerja mencakup segi usaha, loyalitas, potensi, kepemimpinan, dan moral kerja. Profisiensi dilihat dari tiga segi, yaitu: perilaku-perilaku yang ditunjukan seseorang dalam bekerja, hasil nyata atau outcomes yang dicapai pekerja, dan penilaian-penilaian pada faktor-faktor seperti motivasi, komitmen, inisiatif, potensi kepemimpinan dan moral kerja. Gibson (1997) mendefinisikan kinerja sebagai hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi seperti, kualitas, efesiensi, dan kriteria efektifitas lainya. Kinerja merefleksikan seberapa baik dan seberapa tepat seorang individu memenuhi permintaan pekerjaan.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, kinerja dipandang sebagai hasil yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Berhasil tidaknya kinerja yang telah dicapai oleh organisasi dipengaruhi oleh tingkat kinerja pegawai secara individu maupun kelompok, dimana kinerja diukur dengan instrumen yang dikembangkan dalam studi yang tergantung dengan ukuran kinerja secara umum, kemudian diterjemahkan kedalam penilaian perilaku secara mendasar yang dapat meliputi berbagai hal yaitu: kuantitas pekerjaan, kualitas pekerjaan, pendapat atau pernyataan yang disampaikan, keputusan yang diambil dalam melakukan pekerjaan dan deskripsi pekerjaan. Untuk mengukur kinerja secara individual, McKenna dan Beech (1995) ada beberapa indikator, indikator-indikator dari kinerja yang sering dipergunakan untuk menilai kinerja individu pegawai menurut McKenna dan Beech adalah: ƒ Pengetahuan, kemampuan dan keterampilan pada pekerjaan/kompeten ƒ Sikap kerja, diekspresikan sebagai antusiasme, komitmen dan motivasi ƒ Kualitas pekerjaan ƒ Interaksi, misalnya keterampilan komunikasi dan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain dalam satu tim.
2.1.2 Kepuasan Kerja
Seseorang yang memiliki kepuasan kerja tinggi akan memperlihatkan sikap yang positif terhadap pekerjaannya, sedangkan seseorang yang tidak puas akan memperlihatkan sikap yang negatif terhadap pekerjaan itu sendiri (Robbins, 2003). Menurut George dan Jones (2002), kepuasan kerja adalah perasaan yang dimiliki oleh pegawai tentang kondisi tempat kerja merka saat ini. Kemudian menurut Church (1995), kepuasan kerja merupakan hasil dari berbagai macam sikap (attitude) yang dipunyai seorang pegawai.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan sikap tersebut adalah hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan beserta faktor-faktor yang spesifik seperti pengawasan/supervisi, gaji dan tunjangan, kesempatan untuk mendapatkan promosi atau kenaikan pangkat, kondisi kerja, pengalaman kerja, hubungan sosial di dalam pekerjaan yang baik, penyelesaian yang cepat terhadap keluhan-keluhan dan perlakuan yang baik dari pimpinan terhadap pegawai. McNesee Smith (1996) yang mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan pekerja atau pegawai terhadap pekerjaanya, hal ini merupakan sikap umum terhadap pekerjaan yang didasarkan penilaian aspek yang berada dalam pekerjaan.
Sikap seseorang terhadap pekerjaan menggambarkan pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan juga harapan dimasa mendatang. Kepuasan kerja seorang pegawai tergantung karesteristik pegawai dan situasi pekerjaan. Setiap pegawai akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dalam dirinya.. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan kepentingan dan harapan pegawai tersebut maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya dan sebaliknya. Vroom (1964) dalam Luthan (2005) menggambarkan kepuasan kerja sebagai sikap positif terhadap pekerjaan pada diri seseorang.
Bukti-bukti penelitian terhadap kepuasan kerja dapat dibagi menjadi beberapa katagori seperti, kepemimpinan, kebutuhan psikologis, penghargaan atas usaha, manajemen ideologi dan nilai-nilai, faktor-faktor rancangan pekerjaan dan muatan kerja. Selanjutnya, menurut Locke (1976) dalam Luthan (2005) kepuasan kerja adalah suatu keadaan emosional positif dan menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja. Locke membagi sembilan dimensi pekerjaan yang merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya dan memiliki kontribusi yang kuat terhadap kepuasan kerja, yaitu pekerjaan itu sendiri, pembayaran, promosi, peng-akuan, benefit, kondisi kerja, supervisi, rekan sekerja, dan perusahaan (manajemen). Berdasarkan Luthan (2005), kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi pegawai mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Misalnya, jika anggota organisasi merasa bahwa mereka bekerja terlalu keras daripada yang lain dalam depertemen, tetapi menerima penghargaan lebih sedikit, maka mereka mungkin akan memiliki sikap negatif terhadap pekerjaan, pimpinan, dan atau rekan kerja mereka. Mereka tidak puas. Sebaliknya, jika mereka merasa bahwa mereka diperlakukan dengan baik dan dibayar dengan pantas, maka mereka mungkin akan memiliki sikap positif terhadap pekerjaan mereka. Mereka merasa puas.
Sedangkan Luthan (2005) membagi dimensi-dimensi pekerjaan yang memiliki hubungan dengan kepusan kerja yaitu pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan promosi, pengawasan, kondisi kerja dan rekan kerja. Berdasarkan uraian diatas, terlihat ada enam dimensi serupa dalam penelitianpenelitian yang dilakukan oleh Church, Luthan, dan Locke tersebut, sehingga dimensi-dimensi ini dianggap paling mempengaruhi kepuasan kerja yang dinginkan. Keenam dimensi tersebut adalah pekerjaan itu sendiri, gaji/tunjangan, kesempatan promosi, pengawasan, kondisi kerja dan rekan kerja.
2.1.3 Peran Kepemimpinan
Peran kepemimpinan (Challagalla dan Shervani, 2006) adalah pemimpin atau manajer yang berorentasi peningkatan kemampuan berfokus pada pengembangan keterampilan-keterampilan pegawai untuk meningkatkan kualitas kinerja pegawai. Peran adalah sejauh mana peran dipandang penting untuk keberhasilan keseluruhan usaha implementasi level tinggi signifikansi peran yang dipersepsikan akan dikaitkan dengan tanggung jawab implementasi, kontrol kecakapan yang dilakukan pimpinan (supervisor/manajer) dengan kata lain menekankan pengembangan keahlian dan kemampuan individu (Challagalla dan Shervani, 2006).
Ini sebuah usaha untuk mempengaruhi kinerja dengan memastikan bahwa para pegawai memiliki perangkat keahlian dan kemampuan yang memungkinkan tumbunya kinerja yang baik. Kontrol kecakapan termasuk menetapkan tujuan untuk tingkat keahlian dan kemampuan yang harus dimiliki para pegawai, memonitor keahlian dan kemampuan mereka, memberi bimbingan untuk tujuan perbaikanperbaikan yang dibutuhkan, memberi ganjaran (reward) dan hukuman kepada pegawai atas dasar tingkat keahlian dan kemampuannya (Lawler, 1990 dalam Challagalla dan Shervani, 2006). Peran kepemimpinan dalam setiap organisasi berbeda tergantung pada spesifikasinya. Perbedaan ini disebabkan oleh jenis organisasi, situasi sosial dalam organisasi dan jumlah anggota kelompok dalam organisasi tersebut.
Peran dari manajemen organisasi dapat diidentifikasikan sebagai membangun suatu kebijakan dalam organisasi, membangun dan menyebar tujuan dari kebijakan, menyediakan sumber daya yang ada, menyediakan pelatihan orientasi pada permasalahan dan menstimulasi pengembangan atau kemajuan dari organisasi (Juran dan Gyrna, 1993). Kepemimpinan adalah kemampuan individu untuk mempengaruhi, memotivasi, dan membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya demi efektifitas dan keberhasilan organisasi (House et. al, 1999) dalam Yukl (2005). Kepemimpinan dilaksanakan ketika seseorang memobilisasi sumber daya institusional, politis, psikologis, dan sumber-sumber lainnya untuk membangkitkan, melibatkan dan memenuhi motivasi pengikutnya (Burns, 1978) dalam Yukl (2005) Pakar lainya (seperti Bass, 1990; Hickman, 1990; Kotler; Mintzberg 1997; Rost, 1991) dalam Yukl (2005) peran kepemimpinan meliputi memotivasi bawahan dan menciptakan kondisi yang menyenangkan dalam melaksanakan pekerjaan, kepemimpinan berusaha untuk membuat perubahan dalam organisasi dengan
Dalam penelitian definisi operasional dari kepemimpinan akan tergantung pada seberapa luas tujuan para peneliti (Campbell, 1977) dalam Yulk (2000) . Tujuannya mungkin untuk mengindentifikasikan pemimpin, untuk menentukan bagaimana mereka dipilih, mengetahui apa yang mereka lakukan, untuk mengetahui mengapa mereka efektif atau menentukan apakah mereka dibutuhkan. Konsekuensinya sangat sulit bila hanya menggunakan satu definisi kepemimpinan yang cukup umum sehingga mampu mengakomodasikan berbagai makna ini dan cukup sepesifik sehingga mampu berfungsi sebagai operasional variabel.
Di sisi lain, kemampuan pemimpin dalam menggerakkan dan memperdayakan pegawai akan mempengaruhi kinerja. (Lodge dan Derek, 1993) menyebutkan, peran kepemimpin memiliki dampak signifikan terhadap sikap, perilaku dan kinerja pegawai. Efektivitas pemimpin dipengaruhi karakteristik bawahannya dan terkait dengan proses komunikasi yang terjadi antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin dikatakan tidak berhasil apabila tidak dapat memotivasi, menggerakkan dan memuaskan pegawai pada suatu pekerjaan dan lingkungan tertentu. Peran pemimpin adalah mendorong bawahan supaya memiliki kompetensi dan kesempatan berkembang dalam megantisipasi setiap tantangan dan peluang dalam bekerja.
2.1.4 Motivasi
Morrison (1994) memberikan pengertian motivasi sebagai kecendrungan seseorang melibatkan diri dalam kegiatan yang mengarah sasaran. Jika perilaku tersebut mengarah pada suatu obyek (sasaranya) maka dengan motivasi tersebut akan diperoleh pencapaian target atau sasaran yang sebesar-besarnya sehingga pelaksanaan tugas dapat dikerjakan dengan sebaik-baiknya, sehingga efektivitas kerja dapat dicapai. Menurut Gibson (1997), motivasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang karyawan yang menimbulkan dan mengarahkan perilaku. Jadi lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu rangkaian kegitan pemberian dorongan, yaitu bukan hanya kepada orang lain tetapi juga kepada diri sendiri. Sehingga melalui dorongan ini diharapkan akan dapat bertindak kearah tujuan yang diinginkan. Vroom (1964) dalam Luthan (2005) mengatakan kekuatan motivasi adalah valensi dan harapan.
Teori pengharapan berargumentasi bahwa motivasi kerja ditentukan oleh keyakinan individu yang berhubungan dengan, hubungan usaha-kinerja (expectancy = pengharapan), hubungan kerja-hasil (instrumentalitas = perantara), dan persepsi pentingnya berbagai macam hasil pekerjaan (valence = valensi). Motivasi sebagaimana didefinisikan oleh Robbins (2003) merupakan kemauan untuk menggunakan usaha tingkat tinggi untuk tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan usaha untuk memenuhi beberapa kebutuhan individu. Dalam definisi ini ada tiga (3) elemen penting yaitu; usaha, tujuan dan kebutuhan. Elemen usaha merupakan pengukuran intensitas. Usaha yang diarahkan menuju dan konsisten dengan tujuan organisasi merupakan jenis usaha yang seharusnya dicari, dan motivasi merupakan proses pemenuhan kebutuhan. Jae (2000) menunjukan bahwa motivasi pegawai sangat efektif untuk meningkatkan dan memenuhi kepuasan kerja pegawai dimana faktor-faktor motivasi tersebut diukur melaui faktor intrinsik (kebutuhan prestasi dan kepentingan) dan faktor ekstrinsik (keamanan kerja, gaji dan promosi).
2.1.5 Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi secara umum dapat diartikan sebagai keterikatan pegawai pada organiasasi dimana pegawai tersebut bekerja. Komitmen dibutuhkan oleh organisasi agar sumber daya manusia yang komputen dalam organisasi dapat terjaga dan terpelihara dengan baik. Komitmen organisasi didefinisikan sebagai pengukur kekuatan pegawai yang berkaitan dengan tujuan dan nilai organisasi (McNesee-Smith, 1996). Porter et al (1974) dalam Robbins (2003) menemukan pengaruh komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja. Desiana dan Soetjipto (2006) Komitmen dipandang sebagai suatu orientasi nilai terhadap organisasai yang menunjukan individu sangat memikirkan dan mengutamakan pekerjaan dan organisasinya. Individu akan berusaha memberikan segala usaha yang dimilikinya dalam rangka membantu organisasi mencapai tujuannya.
Porter et al. (dalam Desiana dan Soetjipto, 2006) komitmen organisasi dan keterlibatannya dalam organisasi dicirikan oleh tiga faktor psikologis:
Mengingat fokus penelitian ini adalah pada faktor-faktor organisasi maka penelitian ini hanya dibatasi kepada karakteristik-karakteristik yang berhubungan dengan pekerjaan serta pengalaman kerja. Meskipun kedua variabel tersebut diharapkan berkaitan dengan sampel penelitian yang diberikan, pada saat yang bersamaan, sangatlah mungkin bila pekerja yang memegang kepercayaan positif dan cinta kepada organisasi serta tujuan dan nilainya, tetapi tidak suka dengan pelaksanaan aspek-aspek tertentu pada pekerjaan tertentu di organisasi tersebut dan sebaliknya.
Komitmen organisasi didasarkan pada perilaku yang terutama berasal dari ketidakleluasaan menggunakan ketrampilan pekerja sehingga meninggalkan organisasi yang mengikatnya. Saat komitmen dicontohkan sebagai fungsi kepercayaan terhadap organisasi dan pengalaman kerja, karakteristrik organisasi harusnya menjadi faktor yang mempengaruhi kepercayaan pegawai terhadap organisasi dan oleh karena itu pada level komitmen pegawai; karakteristik kerja harusnya menjadi faktor utama yang mempengaruhi kepuasan kerja dan kinerja dari pegawai. McNeese-Smith (1996) juga menemukan bahwa komitmen organisasi berhubungan signifikan positif yang ditunjukan dengan nilai Pearson (r) sebesar 0,31 (significance pada level 0,001) terhadap kinerja pegawai.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu sangat penting sebagai dasar pijakan dalam rangka penyusunan penelitian ini. Kegunaanya untuk mengetahui hasil yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Penelitian yang berkaitan dengan peran kepemimpinan dan kepuasan kerja ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Challagalla dan Shervani, (2006) terhadap 270 pegawai di 5 divisi produk industri dari dua perusahaan fortune 500. temuan-temuan tersebut mengisyaratkan bahwa para pemimpin (manajer) harus secara hati-hati mencocokkan kontrol yang berlaku dengan hasil-hasil yang diinginkan.
Secara keseluruhan, hasil-hasil tersebut menunjukan bahwa informasi dan efek penguatan berubah-ubah, yang mengisyaratkan perlunya membedakan antara informasi yang tersedia dan penguatan aktual yang diembankan kepada pegawai. Mereka juga menunjukan bahwa kontrol aktifitas dan kontrol kecakapan memiliki efek yang berbeda-beda dan mengambarkan pembedaan yang tajam antara dua jenis kontrol perilaku. Akhirnya hasil tersebut menunjukan bahwa peran pemimpin (supervisor) berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja dan kinerja pegawai.
Penelitian yang dilakukan oleh Jurkeiwick. (2001) tentang perbandingan motivasi antara pegawai (karyawan) sektor publik dan sektor swasta, serta para supervisor sektor publik dan sektor swasta memberikan hasil yang berbeda diantara kedua sektor tersebut. Sampel diambil terhadap 296 pegawai (karyawan) sektor publik, yakni kepolisian, pemadam kebakaran dan bidang administrasi publik. Sedangkan untuk sektor swasta, sampel sejumlah 333 diambil dari perusahaan jasa telekomunikasi dan jasa keuangan, khususnya karyawan yang bekerja pada divisi pemasaran, SDM, akutansi, dan costumer service. Responden diminta untuk merangking 15 faktor yang berhubungan dengan motivasi kerja karyawan yang mendasarkan pada keinginan karyawan (wants), selanjutnya karyawan diminta untuk merangking 15 faktor yang sama dengan mendasarkan pada yang mereka rasakan saat ini terkait dengan pekerjaan (gets).
Hasilnya menunjukan motivasi pegawai (karyawan) berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai (karyawan). Penelitian yang dilakukan oleh Smith et al. (2000) juga menemukan bahwa motivasi berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. McNeese-Smith (1996) menemukan bahwa komitmen organisasi berhubungan signifikan positif yang ditunjukan dengan nilai Pearson (r) sebesar 0,31 (significance pada level 0,001) terhadap kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Suliman (2002) dalam penelitiannya dengan melakukan kuesioner kepada 1000 karyawan yang dilakukan dengan teknik random sampling dari 20 perusahaan di Timur Tengah menguji pengaruh komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja pegawai (karyawan) dimana komitmen organisasi diukur melalui dua dimensi yaitu komitmen yang timbul secara langsung (affective commitment) maupun komitmen yang berkelanjutan (continuance commitment), hasil penelitiannya menunjukan bahwa komitmen yang kuat baik melalui komitmen yang timbul secara langsung (affective Commitment) maupun komitmen yang berkelanjutan (continuance commitment) memberikan kontribusi yang tinggi dalam meningkatkan dan memenuhi kepuasan kerja pegawai.
Dengan komitmen yang kuat, pegawai akan termotivasi untuk bekerja keras untuk kemajuan organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Ostroff (2003) terhadap 13.808 pengajar di 298 sekolah menengah pada negara bagian Amerika dan kanada. Hasil penelitinya menemukan bahwa ada hubungan yang positif antara kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Penelitian yang dilakukan oleh Laschinger, Finegen dan Shamian (2001) juga menemukan bahwa kepuasan kerja mempunyai hubungan yang positif terhadap kinerja pegawai.
2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis
Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu Challagalla dan Shervani (2006) dalam penelitian menemukan bahwa peran kepemimpinan dan motivasi berhubungan positif terhadap kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Jurkeiwick (2001) dan Smith et al. (2000) dalam penelitiannya menemukan bahwa motivasi pegawai berhubungan positif dengan kepuasan kerja. Semakin tinggi motivasi pegawai akan berdampak terhadap kepuasan kerja pegawai lebih baik dibandingakan pegawai yang tidak memilki motivasi. McNeese-Smith (1996) menyatakan bahwa komitmen organisasional berhubungan positif dengan kepuasan kerja dan kinerja pegawai pada level kurang dari 1%. Hasil tersebut didukung oleh Suliman (2002) yang menunjukkan hasil bahwa komitmen organisasional pada 20 perusahaan di Timur Tengah mempunyai pengaruh yang signifikan positif terhadap kepuasan kerja dan kinerja pegawai.
Selanjutnya Ostroff (2003) dan Laschinger, Finegen dan Shamian (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa kepuasan kerja berhubungan positif dengan kinerja pegwai. Semakin terpenuhinya dan meningkatnya kepuasan kerja pegawai akan berdampak positif terhadap sikap kinerja pegawai. 2.4 Indikator Variabel
2.4.1 Indikator Peran Kepemimpinan
Pemimpin (manajer) yang berorentasi peningkatan kemampuan berfokus pada pengembangan keterampilan-keterampilan pegawai untuk meningkatkan kualitas kinerja pegawai. Variabel ini diukur melalui enam dimensi yaitu: energi dan keteguhan hati, menentukan tujuan (visi), menantang dan mendorong, pengambil resiko, memberi inspirasi dan membantu pegawai merasa dihargai, yang dikembangkan oleh (Mansour dan Waldman, 2003) dalam Fuad Mas’ud (2004). Angket terdiri dari pertanyaan berskala 1-7 sebanyak 6 pertanyaan yang akan menghasilkan skor minimum 6 dan skor maksimum 42. keenam dimensi tersebut
2.4.2 Indikator Motivasi
Merupakan kemauan untuk menggunakan usaha tingkat tinggi untuk tujuan organisasi. yang dikondisikan oleh kemampuan usaha untuk memenuhi beberapa kebutuhan individu, variabel ini diukur melalui enam dimensi yaitu: prestasi kerja, pengaruh, pengendalian, ketergantungan, perluasan (pengembangan) dan Pertalian (afiliasi), yang dikembangkan oleh (Udai, 1985) dalam Fuad Mas’ud (2004). Dengan menggunakan angket terdiri dari pertanyaan berskala 1-7 sebanyak 6 pertanyaan yang akan menghasilkan skor minimum 6 dan skor maksimum 42. keenam dimensi tersebut
2.4.3 Indikator Komitmen
Organisasi Suatu orientasi nilai terhadap organisasi yang menunjukan bahwa individu sangat memikirkan dan mengutamakan pekerjaan dan organisasinya. Variabel ini diukur melalui enam dimensi yaitu: Terikat secara emosional, merasakan, kebutuhan dan keinginan, biaya (pengorbanan), percaya (setia) dan loyalitas dengan merujuk pada (Allen, Meyer dan Smith,1993) dalam Fuad Mas’ud (2004). Dengan menggunakan angket terdiri dari pertanyaan berskala 1-7 sebanyak 6 pertanyaan yang akan menghasilkan skor minimum 6 dan skor maksimum 42. keenam dimensi tersebut
2.4.4 Indikator Kepuasan Kerja
Merupakan suatu keadaan emosional positif dan menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja. Variabel kepuasan kerja merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai, variabel ini diukur melalui enam dimensi yaitu: pekerjaan itu sendiri, gaji/honor, kesempatan promosi, pengawasan, kondisi kerja dan rekan kerja, yang dikembangkan oleh (Church, 1995, Locke, 1976 dan Luthan, 2005). Angket terdiri dari pertanyaan berskala 1-7 sebanyak 6 pertanyaan yang akan menghasilkan skor minimum 6 dan skor maksimum 42.
2.4.5 Indikator Kinerja
Pegawai Merupakan suatu hasil yang dicapai oleh pegawai tersebut dalam pekerjaannya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan tertentu. Variabel ini diukur melalui enam dimensi yaitu: Kuantitas kerja pegawai, Kualitas kerja pegawai, Efesiensi kerja pegawai, Sikap kerja pegawai, Stándar kualitas kerja pegawai dan Kemampuan kerja pegawai, yang dikembangkan oleh (Tsui, Pearce & Porter, 1997) dalam Fuad Mas’ud, 2004) dengan menggunakan angket terdiri dari pertanyaan berskala 1-7 sebanyak 6 pertanyaan yang akan menghasilkan skor minimum 12 dan skor maksimum 42. 2.7 Pengaruh Antar Variabel
2.7.1 Pengaruh Peran Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja
Peran pemimpin (supervisi/pengawas) merupakan sumber penting lain dari kepuasan kerja (Luthan, 2005) dikatankan bahwa ada dua dimensi peran pemimpin (supervisi/pengawas) yang mempengaruhi kepuasan kerja. Yang pertama adalah berpusat pada pegawai, diukur menurut tingkat di mana penyelia menggunakan ketertarikan personal dan peduli pada pegawai. Hal itu secara umum dimanifestasikan dalam cara-cara seperti meneliti seberapa baik kerja pegawai, memberikan nasihat dan bantuan pada individu, dan berkomunikasi dengan rekan kerja secara personal maupun dalam konteks pekerjaan.
Terdapat bukti empiris bahwa salah satu alasan utama pegawai keluar dari perusahaan (organisasi) adalah karena penyelia tidak peduli dengan mereka. Yang kedua adalah partisipasi atau pengaruh, seperti diilustrasikan oleh manajer yang memungkinkan orang untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi pekerjaan mereka. Dalam banyak kasus, cara ini menyebabkan kepuasan kerja yang lebih tinggi. Misalnya, meta-analisis menyimpulkan bahwa partisipasi memiliki efek positif pada kepuasan kerja. Iklim partisipasi yang diciptakan penyelia memiliki efek yang lebih penting pada kepuasan kerja daripada partisipasi pada keputusan tertentu (Luthan, 2005). Peran kepemimpinan adalah pemimpin (manajer) yang berorentasi peningkatan kemampuan berfokus pada pengembangan keterampilan-keterampilan pegawai untuk meningkatkan kualitas kinerja pegawai (Challagalla dan Shervani, 2006).
Temuan-temuan tersebut mengisyaratkan bahwa para pemimpin (manajer) harus secara hati-hati mencocokkan kontrol yang berlaku dengan hasil-hasil yang diinginkan. Secara keseluruhan, hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa informasi dan efek penguatan beru-ubah, yang mengisyaratkan perlunya membedakan antara informasi yang tersedia dan penguatan actual yang diemban kepada pegawai. Mereka juga menunjukkan bahwa kontrol aktifitas dan kontrol kecakapan memiliki efek yang berbeda-beda dan dan menggambarkan pembedaan yang tajam antara dua jenis kontrol perilaku. Selanjutnya menurut Challagalla dan Shervani (2006) peran kontrol pimmpinan (supervisor) memilki efek positif secara langsung dan tidak langsung terhadap kepuasan kerja pegawai. Variabel peran kepemimpinan diukur melalui energi dan keteguhan hati, menentukan tujuan (visi), menantang dan mendorong, pengambil resiko, memberi inspirasi, dan membantu pegawai merasa dihargai. Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu dapat dirumuskan hipotesis alternatif pertama (H1): H1 : Peran Kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja.
2.7.2 Pengaruh Motivasi Terhadap Kepuasan Kerja
Motivasi sebagaimana didefinisikan oleh Robbins (1996) merupakan kemauan untuk menggunakan usaha tingkat tinggi untuk tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan usaha untuk memenuhi beberapa kebutuhan individu. Salah satu tugas utama manajer adalah memotivasi para personel organisasi agar memiliki kepuasan kerja dan kinerja tinggi (Fuad Mas’ud, 2004). Manajer yang dapat memberikan motivasi yang tepat untuk para personelnya akan membuahkan produktivitas yang maksimal, kepuasan kerja yang tinggi serta pertanggung jawaban organisasi yang lebih baik (Jurkeiwick, 2001). Variabel motivasi diukur melalui prestasi kerja, pengaruh, pengendalian, ketergantungan, perluasan (pengembangan) dan pertalian (afiliasi). Sementara itu kepuasan kerja dari pegawai itu sendiri mungkin mempengaruhi kehadirannya pada jam kerja, dan keinginan untuk ganti pekerjaan juga bisa mempengaruhi kesedian untuk bekerja. Kesediaan atau motivasi seorang pegawai untuk bekerja biasanya ditunjukan oleh aktivitas yang terus-menerus, dan yang berorentasi tujuan. Jae (2000) menunjukan bahwa motivasi pegawai sangat efektif untuk memenuhi dan meningkatkan kepuasan kerja pegawai dimana faktor-faktor motivasi tersebut diukur melaui faktor intrinsik (kebutuhan prestasi dan kepentingan) dan faktor ekstrinsik (keamanan kerja, gaji dan promosi). Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu dapat dirumuskan hipotesis alternatif kedua (H2): H2 : Motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja.
2.7.3 Pengaruh Komitmen Organisasi Terhadap Kepuasan
Kerja. Komitmen organisasi (Allen et al, 1993). Desiana dan Soetjipto (2006) Komitmen dipandang sebagai suatu orientasi nilai terhadap organisasai yang menunjukan individu sangat memikirkan dan mengutamakan pekerja dan organisasinya. Individu akan berusaha memberikan segala usaha yang dimilikinya dalam rangka membantu organisasi mencapai tujuannya. Porter et al. (dalam Desiana dan Soetjipto, 2006). Variabel komitmen organisasi diukur melalui terikat secara emosional pada organisasi, merasakan, kebutuhan dan keinginan, biaya (pengorbanan), percaya (setia) dan loyalitas. McNeese-Smith (1996) juga menemukan bahwa komitmen organisasi berhubungan signifikan positif yang ditunjukan dengan nilai Pearson (r) sebesar 0,31 (significance pada level 0,001) terhadap kepuasan kerja pegawai. Suliman (2002) dalam penelitiannya dengan melakukan kuesioner kepada 1000 karyawan yang dilakukan dengan teknik random sampling dari 20 perusahaan di Timur Tengah menguji pengaruh komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja karyawan dimana komitmen organisasi diukur melalui dua dimensi yaitu komitmen yang timbul secara langsung (affective commitment) maupun komitmen yang berkelanjutan (continuance commitment), hasil penelitiannya menunjukan bahwa komitmen yang kuat baik melalui komitmen yang timbul secara langsung (affective Commitment) maupun komitmen yang berkelanjutan (continuance commitment) memberikan kontribusi yang tinggi dalam memenuhi dan meningkatkan kepuasan kerja pegawai. Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu dapat dirumuskan hipotesis alternatif ketiga (H3). H3 : Komitmen organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja.
2.7.4 Pengaruh Kepuasan
Kerja Terhadap Kinerja Pegawai. Kepuasan kerja diartikan sebagai sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya atau dapat juga diartikan sebagai perbedaan antara jumlah imbalan/penghargaan yang diterima oleh pegawai dan jumlah yang seharusnya mereka daptkan (Robbins, 2003). Kepuasan kerja telah diindentifikasikan sebagai variabel yang paling banyak dipelajari dalam penelitian-penelitian tentang organisasi. Ada yang beranggapan bahwa pegawai atau pekerja yang merasa puasa adalah pekerja yang prodiktif (Robbins, 2003). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja seorang individu akan dapat mempengaruhi kinerjanya. Penelitian yang dilakukan oleh Ostrof (2003) mengadakan penelitian tentang analisis hubungan antara kepuasan, sikap dan kinerja pada suatu organisasi. Hasil penelitiannya bahwa ada hubungan yang positif antara kepuasan kerja, sikap, dan kinerja. Selanjutnya menurut Laschinger, Finegan dan Shamian (2001) kepuasan kerja berpengaruh signifikan positif terhadap kinerja pegawai. Berdasarkan uraian diatas, terlihat ada enam dimensi serupa dalam penelitianpenelitian yang dilakukan oleh Church, Luthan, dan Locke tersebut, sehingga dimensi-dimensi ini dianggap paling mempengaruhi kepuasan kerja yang dinginkan. Keenam dimensi tersebut adalah pekerjaan itu sendiri, gajih, kesempatan promosi, pengawasan, kondisi kerja dan rekan kerja. Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu dapat dirumuskan hipotesis alternatif keempat (H4). H4 : Kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai.
2.7.5 Pengaruh Peran
Kepemimpinan Terhadap Kinerja Pegawai Peran kepemimpinan adalah pemimpin (manajer) yang berorentasi peningkatan kemampuan berfokus pada pengembangan keterampilan-keterampilan pegawai untuk meningkatkan kualitas kinerja pegawai (Challagalla dan Shervani, 2006). Temuan-temuan tersebut mengisyaratkan bahwa para pemimpin (manajer) harus secara hati-hati mencocokkan kontrol yang berlaku dengan hasil-hasil yang diinginkan. Secara keseluruhan, hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa informasi dan efek penguatan beru-ubah, yang mengisyaratkan perlunya membedakan antara informasi yang tersedia dan penguatan aktual yang diemban kepada pegawai. Mereka juga menunjukkan bahwa kontrol aktifitas dan kontrol kecakapan memiliki efek yang berbeda-beda dan dan menggambarkan pembedaan yang tajam antara dua jenis kontrol perilaku. Selanjutnya menurut Challagalla dan Shervani (2006) peran kontrol pimmpinan (supervisor) memilki efek positif secara langsung dan tidak langsung terhadap kinerja pegawai. Variabel peran kepemimpinan diukur melalui energi dan keteguhan hati, menentukan tujuan (visi), menantang dan mendorong, pengambil resiko, memberi inspirasi, dan membantu pegawai merasa dihargai. Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu dapat dirumuskan hipotesis alternatif kelima (H5): H5 : Peran Kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai.
2.7.6 Pengaruh Komitmen
Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja. Komitmen organisasi didefinisikan sebagai pengukur kekuatan pegawai yang berkaitan dengan tujuan dan nilai organisasi (McNesee-Smith, 1996). Steers (1977) dalam Robbins (2003) membagi variabel komitmen organisasi dalam tiga katagori yaitu:
Mengingat fokus penelitian ini adalah pada faktorfaktor organisasi maka penelitian ini hanya dibatasi kepada karakteristikkarakteristik yang berhubungan dengan pekerjaan serta pengalaman kerja. Meskipun kedua variabel tersebut diharapkan berkaitan dengan sampel penelitian yang diberikan, pada saat yang bersamaan, sangatlah mungkin bila pekerja yang memegang kepercayaan positif dan cinta kepada organisasi serta tujuan dan nilainya, tetapi tidak suka dengan pelaksanaan aspek-aspek tertentu pada pekerjaan tertentu di organisasi tersebut dan sebaliknya. Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu dapat dirumuskan hipotesis alternatif keenam (H6) H6 : Komitmen organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai.
sumber: http://mangihot.blogspot.com/2016/11/teori-kinerja-pegawai.html